Monday, April 30, 2012

nishfu sya'ban


BULAN SYA'BAN (bulan kedelapan dalam sistem penanggalan Hijriyah) adalah bulan yang penuh keutamaan namun sering dilupakan umat Islam karena bulan ini diapit oleh dua bulan utama. Pertama, bulan Rajab yang teristimewa karena pada bulan ini terjadi peristiwa besar Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad SAW dan kemudian mulailah ada kewajiban melaksanakan shalat lima waktu. Kedua bulan Ramadhan, saat kaum muslimin diwajibkan menjalankan puasa sebulan suntuk dan saat pahala kebaikan dilipatgandakan.

Sedianya bulan Sya’ban tidak dilupakan karena setelah mendapatkan banyak pelajaran tentang Isra’ Mi’raj dan setelah membenahi shalat kita pada akhir bulan Rajab, maka pada bulan Sya’ban saatnyalah mempersiapkan diri untuk memasuki bulan Ramadhan.

Lagi pula, dalam bulan Sya’ban sendiri terdapat berbagai keistimewaan. Diriwayatkan dari Aisyah bahwa Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya Allah SWT turun pada malam Nishfu Sya'ban (pertengahan Sya’ban) ke langit dunia dan akan mengampuni manusia lebih dari jumlah banyaknya bulu kambing dan anjing. [HR Tirmizi].

Mu'az Ibn Jabal meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: Pada malam Nishfu Sya'ban. Allah akan melihat semua makhluk-Nya, kemudian mengampuni mereka kecuali yang musyrik dan orang yang memusuhi orang lain. [HR Sunan Ibn Majah].

Oleh para ahli hadits, dua hadits di atas dianggap yang tidak terlalu valid alias dla’if karena ada beberapa kesimpangsiuran dalam periwayatan dan mengenai periwayat haditsnya (sanad). Namun guna menyemangati hamba dalam menjalankan ibadah (fadlailul a’mal) para ulama membolehkan hadits ini sebagai pegangan. Selain itu, diriwayatkan juga Rasulullah SAW paling mencintai bulan ini dan beliau tidak melakukan puasa (selain Ramadhan) sebanyak puasa di bulan ini [HR Ahmad dari Usamah bin Zaid].

Nah, ada perbedaan pendapat diantara umat Islam dalam menyikapi satu hal dalam bulan ini, yaitu yang tersebut dalam hadits di atas sebagai Nishfu Sya’ban. Nishfu artinya setengah atau pertengahan. Nishfu Sya'ban berarti pertengahan bulan Sya'ban atau malam tanggal 15 Sya'ban dan esok harinya. Sebagian besar umat Islam menjalankan berbagai macam ibadah pada malam nisfu sya’ban, namun umat Islam yang lain ada yang tidak sepakat dan bahkan menganggap ibadah yang telah dilakukan oleh umat Islam pada malam Nishfu Sya’ban itu sebagai ibadah yang menyimpang atau mengada-ngada (bid’ah) karena tidak dicontohkan atau diperintahkan oleh Nabi secara langsung.

Ibn al-Jauzi memopulerkan hadits dari Abi Hurairah bahwa Nabi SAW telah bersabda: Siapa yang melakukan shalat pada malam Nishfu Sya'ban sebanyak dua belas rakaat dan membaca qul huwallahu ahad (Surat al-Ihlas) tiga puluh kali pada setiap rakaatnya, ia tidak akan keluar dari dunia ini sebelum melihat tempat duduknya di dalam surga dan memberi syafa'at sepuluh orang ahli keluarganya yang seluruh masuk neraka.

Di dalam hadits ini ada enam orang perawinya yang identitasnya kurang lengkap (majhul), yaitu: Ahmad Ibn 'Ali Al-Khatib, Abu Sahl 'Abd As-Samad Ibn Muhammad Al-Qantari, Abu Al-Hasan 'Ali Ibn Ahmad Al-Yunani, Ahmad Ibn 'Abd Allah Ibn Dawud, Muhammad Ibn Jabhan, dan 'Umar Ibn Ar-Rahim.

Hadits lain ditakhrij oleh oleh Imam As-Suyuti bahwa Ibrahim meriwayatkan 'Ali Ibn Abi Talib melihat Rasulullah pada malam Nishfu Sya'ban berdiri lalu beliau melakukan shalat empat belas rakaat. Setelah selesai lalu Nabi duduk kemudian membaca ummul Qur'an (Surat Al-Fatihah) empat belas kali, qul huwallahu ahad (Surat al-Ihlas) empat belas kali, ayat kursi satu kali. Ketika Nabi selesai shalat Ali bertanya tentang apa yang telah dia lihat. Rasulullah SAW lalu bersabda: "Siapa yang melakukan yang seperti apa yang telah engkau lihat, adalah baginya seperti dua puluh kali mengerjakan haji yang mabrur (sempurna), puasa dua puluh tahun yang maqbul (diterima), dan jika ia puasa pada siangnya, ia seperti puasa enam puluh tahun yang sudah lalu dan setahun yang akan datang.

Hadits yang tersebut di atas juga menyandung tujuh orang perawinya yang majhul bahkan ada seorang perawi yang dianggap sebagai pemalsu hadits yaitu Muhammad Ibn al-Muhajir sebagaimana penilaian yang dikemukakan oleh As-Suyuti sendiri.

Dengan demikian hadits-hadits yang menjelaskan ibadah yang dilaksanakan oleh Nabi Muhammad SAW seperti di atas adalah dla’if. Para ulama menyatakan bahwa hadits dla’if dapat diamalkan dan diikuti sebatas sebagai penyemangat ibadah (fadailul a'mal), berisi nasihat-nasihat dan cerita-cerita baik, bukan untuk menentukan halal dan haram dan tidak berhubungan dengan sifat-sifat Allah SWT. Pendapat ini diperpegangi oleh Ahmad Ibn Hanbal, an-Nawawi, Ibn Hajar al-Asqalani, As-Suyuti, dan lainnya.

Perdebatan di kalangan umat Islam juga semakin mendalam ketika ada kalangan umat Islam lainya yang tidak menyia-nyiakan malam nisfu Sya’ban untuk melakukan beberapa keutamaan seperti membaca surat yasin dan tahlil. Bagi kalangan yang terlalu kaku menganggap ibadah ini mengada-ngada karena jelas-jelas tidak ada hadits yang dloif sekalipun. Kalangan yang tersebut barusan tidak melakukan ibadah apapun yang pada waktu-waktu tertentu tidak dilakukan, diperintahkan atau dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW. (A. Khoirul Anam)

sumber : nu.or.id

Friday, April 27, 2012

tradisi haul

Tradisi Haul

Peringatan haul (kata "haul" dari bahasa Arab, berarti setahun) adalah peringatan kematian seseorang yang diadakan setahun sekali dengan tujuan utama untuk mendoakan ahli kubur agar semua amal ibadah yang dilakukannya diterima oleh Allah SWT. Biasanya, haul diadakan untuk para keluarga yang telah meninggal dunia atau para tokoh untuk sekedar mengingat dan meneladani jasa-jasa dan amal baik mereka.

Haul yang penting diadakan setiap setahun sekali dan tidak harus tepat pada tanggal tertentu alias tidak sakral sebagaimana kita memperingati hari ulang tahun. Hari dan tanggal pelaksanaan ditentukan berdasarkan pertimbangan tertentu yang berhubungan acara-acara lain yang diselenggarakan bersamaan dengan peringatan haul itu.

Para keluarga mengadakan acara haul pada hari dan tanggal yang telah disepakati bersama keluarga, pada saat mereka mempunyai waktu senggang dan bisa berkumpul bersama. Di pesantren-pesantren, haul untuk para pendiri dan tokoh-tokoh yang berjasa terhadap perkembangan pesantren dan syi’ar Islam diadakan bersamaan dengan acara tahunan pesantren, semisal khataman kitab akhir tahun, pertemuan wali santri, atau dzikir akbar tahunan.

Tradisi haul diadakan berdasarkan hadits Rasulullah SAW. Diriwayatkan: Rasulullah berziarah ke makam Syuhada (orang-orang yang mati syahid) dalam perang Uhud dan makam keluarga Baqi’. Beliau mengucap salam dan mendoakan mereka atas amal-amal yang telah mereka kerjakan. (HR. Muslim)

Hadits lain diriwayatkan oleh Al-Wakidi bahwa Rasulullah SAW mengunjungi makam para pahlawan perang Uhud setiap tahun. Jika telah sampai di Syi’ib (tempat makam mereka), Rasulullah agak keras berucap: Assalâmu’alaikum bimâ shabartum fani’ma uqbâ ad-dâr. (Semoga kalian selalu mendapat kesejahteraan ats kesabaran yang telah kalian lakukan. Sungguh akhirat adalah tempat yang paling nikmat). Abu Bakar, Umar dan Utsman juga malakukan hal yang serupa. (Dalam Najh al-Balâghah, hlm. 394-396)

Para ulama menyatakan, peringatan haul tidak dilarang oleh agama, bahkan dianjurkan. Ibnu Hajar dalam Fatâwa al-Kubrâ Juz II hlm. 18 menjelaskan, para sahabat dan ulama tidak ada yang melarang peringatan haul sepanjang tidak ada yang meratapi mayyit atau ahli kubur sambil menangis. Peringatan haul sedianya diisi dengan menuturkan biorafi orang-orang yang alim dan saleh guna mendorong orang lain untuk meniru perbuatan mereka

Peringatan haul yang diadakan secara bersama-sama menjadi penting bagi umat Islam untuk bersilaturrahim satu sama-lain; berdoa sembari memantapkan diri untuk menyontoh segala teladan dari para pendahulu; juga menjadi forum penting untuk menyampaikan nasihat-nasihat keagamaan. (A. Khoirul Anam)

*Kutipan hadits dan qoul ulama dalam tulisan ini diambil dari buku "Tradisi Orang-Orang NU" yang ditulis oleh H. Munawwir Abdul Fattah yang telah ditashhih oleh KH. A. Muhith Abdul Fattah, KH Maghfoer Utsman, dan KH. Masdar Farid Mas’udi, Diterbitkan oleh Pustaka Pesantren, Yogyakarta: 2006.

sumber : nu.or.id

Monday, April 16, 2012

para mubaligh al-azhar dikirim ke nigeria untuk melawan aktivitas wahabi

Para Mubaligh Al-Azhar Dikirim ke Nigeria untuk Melawan Aktivitas Wahabi.


Ketika wilayah utara Nigeria dilanda krisis dan bentrokan antar warga Muslim dan Kristen, sejumlah mubaligh al-Azhar berkunjung ke negara tersebut.

Fars News (15/4) melaporkan, bentrokan antara warga Kristen dan Muslim Nigeria yang bermula sejak awal tahun ini diwarnai dengan aksi pengeboman. Di sisi lain sekelompok mubaligh al-Azhar Mesir berkunjung ke Nigeria untuk melakukan berbagai pendekatan budaya.

Para mubaligh al-Azhar itu menyebarkan program "Islam dan Kehidupan Manusia" yang dimulai sejak Sabtu (14/4).

Media massa Mesir mengkonfirmasikan bahwa pengiriman para mubaligh al-Azhar mendapat sambutan hangat dari warga di utara Nigeria. Para mubaligh al-Azhar juga menghadapi berbagai pertanyaan dari warga.

Kebijakan al-Azhar itu dilakukan setelah kelompok salafi dan wahabi aktif berdakwah dalam masyarakat di utara Nigeria. Bahkan para mubalig wahabi membentuk kelompok Boko Haram yang melancarkan serangan bersenjata dan pengeboman terhadap warga Kristen. (IRIB Indonesia/MZ)

kelompok bersenjata culik pejabat yaman

Kelompok Bersenjata Culik Pejabat Yaman

Sekelompok orang bersenjata yang diduga al Qaidah menculik seorang pejabat pemerintah Yaman di provinsi tenggara Hadhramaut pada Ahad pagi. Demikian kata seorang polisi kepada Xinhua.

Ahmed Juman, seorang direktur keamanan Kabupaten Reida, diculik dari jalan utama dekat kediamannya. Juman diculik oleh kelompok bersenjata tak dikenal yang diyakini anggota kelompok gerilyawan al Qaidah.

Para penculik menaruh Juman dalam kendaraan pickup. ''Mereka membawanya menuju kota Azzan yang dikendalikan pemberontak di Provinsi Shabwa,'' kata pejabat itu.

Sementara itu, seorang pejabat keamanan mengatakan kepada Xinhua bahwa sebuah bom pinggir jalan menewaskan tiga warga sipil di daerah Qutun di Hadramaut. Ketiganya tewas ketika bom menghantam kendaraan mereka.

"Satu mobil sipil melindas sebuah ranjau darat yang ditanam oleh gerilyawan di jalan utama. Mereka sebenarnya menargetkan kendaraan pasukan keamanan sebagai sasaran bom,'' kata pejabat itu yang tak bersedia disebutkan namanya. ''Bom tersebut menewaskan tiga warga sipil."

Pada 22 Maret, al Qaidah mengaku bertanggung jawab atas pembunuhan seorang perwira intelijen Yaman setelah menculiknya. Beberapa pejabat keamanan dan pejabat intelijen telah dibunuh atau diculik dalam beberapa bulan terakhir di Yaman selatan. Wilayah tersebut dikuasai oleh ratusan gerilyawan al Qaidah akibat kekosongan keamanan selama pergolakan politik tahun lalu.

Dalam beberapa bulan terakhir, gerilyawan cabang al Qaidah yang berpangkalan di Yaman telah melakukan serangan besar-besaran. Mereka juga melakukan aksi bom bunuh diri terhadap pasukan pemerintah di seluruh daerah tanpa hukum di selatan negara itu.

Redaktur: Didi Purwadi
Sumber: Antara/Xinhua-0ANA (republika.co.id)

Wednesday, April 4, 2012

situs berbahaya salafi wahabi

Hati-hati belajar dari Internet karena saat ini 70% situs-situs internet sudah tercemari dengan ajaran-ajaran berbahaya wahabi arab saudi yang bisa merusak persatuan umat islam


Berikut daftar lengkap situs wahabi (ajaran yang berbahaya) :

http://www.abuayaz.co.cc/
http://abuzuhriy.com/
http://ahlulhadiits.wordpress.com/

http://ainuamri.wordpress.com/



http://almakassari.com/

http://alqiyamah.wordpress.com/

http://ahlussunnah.info/


http://www.alsofwah.or.id/
http://arrrahmah.com
http://annaufal.co.cc/
http://assunnah.web.id/

http://assunnah-qatar.com/
http://arabindo.co.nr/

http://badaronline.com/

http://www.daarussunnah.co.nr/
http://www.darussalaf.or.id/
http://darussunnah.or.id/

http://www.desasalaf.co.cc/

http://ekonomisyariat.com/
http://eramuslim.com


http://haditsarbain.wordpress.com/

http://kaahil.wordpress.com/
http://www.konsultasisyariah.com/

http://manhaj.or.id
http://muslim.or.id/

http://www.mufiidah.net/
http://moslemsunnah.wordpress.com/

http://ngaji-online.com/

http://pengusahamuslim.com/


http://www.raudhatulmuhibbin.org/
http://perpustakaan-islam.com/

http://salafiyunpad.wordpress.com/
http://www.salafy.or.id/
http://salafyitb.wordpress.com/
http://samuderailmu.wordpress.com/


http://ulamasunnah.wordpress.com/

http://quranicaudio.com/


referensi lebih lanjut : http://ummatipress.com/2012/03/29/inilah-daftar-lengkap-situs-website-salafy-wahabi-indonesia/

firasat gus dur jelang tsunami aceh (61)

GUS DUR WALI (61)
Firasat Gus Dur jelang Tsunami Aceh

Desember 2004 pagi yang cerah di Aceh tiba-tiba saja menjadi bencana mengerikan ketika gelombang besar dari laut atau tsunami meluluhlantakkan segala hal yang ada dibibir pantai. Ratusan ribu nyawa melayang dan nasib ratusan ribu rakyat lainnya mengenaskan akibat kehilangan harta benda dan keluarga yang menopang hidup.

Ditempat lain beberapa minggu sebelumnya, tepatnya di Masjid Agung Demak, H Sulaiman, asisten Gus Dur diperintahkan melalui telepon untuk membuka-buka Al Qur’an dan membaca ayat tepat di halaman yang dibuka tersebut.

Halaman yang terbuka waktu itu adalah surat Nuh, yang menceritakan tentang banjir besar yang melanda dan menghabiskan umat nabi Nuh yang ingkar terhadap Allah.

Sulaiman pun bertanya kepada Gus Dur tentang makna atas surat dalam Al Qur’an yang dibacanya tersebut. “Akan ada bencana besar yang menimpa Indonesia,” kata Gus Dur, tetapi tidak menyebutkan secara detail dimana dan kapan, serta bentuk bencananya seperti apa. Sulaiman pun terdiam mendengan penjelasan tersebut dan tidak banyak berkomentar.

Benar saja, tak berselang lama, tsunami yang diakibatkan oleh gempa berkekuatan 8.9 skala richter, yang berkolasi di Samudera Indonesia, 32 km di dekat Meulaboh Aceh menghebohkan dunia dan menimbulkan korban lebih dari 200 ribu jiwa.

Kesedihan pun melanda bangsa Indonesia, dan secara bersama-sama semuanya bahu-membahu memberikan bantuan yang diperlukan sesuai dengan kemampuannya masing-masing untuk mengurangi penderitaan para korban serta melakukan upaya pemulihan.

Setelah kejadian tersebut, Sulaiman kembali mendiskusikan masalah bacaan surat Nuh dan bencana tsunami Aceh dengan Gus Dur.

“Ini merupakan peringatan Allah bagi orang Aceh dan bangsa Indonesia,” katanya.

Konflik di Aceh berupa keinginan sebagian masyarakat untuk memisahkan diri dari NKRI telah menimbulkan ribuan korban nyawa selama puluhan tahun. Berbagai upaya penyelesaian telah dilakukan, tetapi tak membuahkan hasil dan rakyat terus menderita. Masing-masing pihak tidak mau berkompromi untuk kepentingan rakyat banyak.

Peringatan dari Allah ternyata manjur. Upaya mediasi yang sebelumnya sulit dilakukan ternyata bisa berjalan dengan baik dan menghasilkan perjanjian damai yang berlangsung sampai saat ini.

sumber : nu.or.id

umat islam mesti menjauhi sifat keiblisan

Sifat keiblisan sangat berbahaya. Umat Islam mesti menjauhinya. Berdasarkan hadis Rasulullah, terdapat 5 sifat yang dimiliki iblis. Dan kelima sifat tersebut tentu tak baik bila sampai bersemayam dalam diri umat Islam.

Oleh Mustasyar PCNU Pamekasan KH Abd Hamid Mannan, pernyataan di atas sangat ditekankan dalam ceramah agamanya di masjid Nurul Jadid, Klompang Rombu Palengaan Pamekasan, Senin (2/4) malam. Ceramah agama tersebut disampaikan dalam Kolom Aswaja yang digelar pesantren Nurul Jadid serta dihadiri oleh para santri, masyarakat, dan para tokoh NU Pamekasan.

“Iblis itu tak pernah mengaku berdosa. Ini sifat yang pertama,” tegas ketua PCNU Pamekasan periode 1991-2001, itu. “Sifat kedua dan ketiga adalah tidak menyesal atas dosa yang dilakukannya dan tidak pernah berniat untuk bertobat.”

Adapun sifat yang keempat, tambahnya, ialah selalu dirinya merasa benar, tak pernah mau menyalahkan dirinya sekalipun banyak berbuat salah.

“Dan kelima adalah putus asa dari kasih sayang (rahmat) Allah,” kata Kiai Hamid.

Lima Sifat Nabi Adam

Kebalikan dari Iblis, Nabi Adam juga memiliki 5 sifat yang dapat membahagiakannya. Kelima sifat ini harus ditanam kuat dalam sanubari umat manusia.

“Sifat pertama ialah manusia pertama tersebut sudi mengaku berdoasa atas kesalahannya,” kisah Kiai Hamid. “Ia benar-benar mengaku dirinya berdosa melanggar larangan Allah agar tidak mendekati pohon Khuldi.”

Nabi Adam punya sifat menyesal, kata Kiai Hamid, dan penyesalan ini menjadi sifat selanjutnya yang harus diteladani.

“Sifat yang ketiga ialah Nabi Adam mencela perbuatan dosanya. Keempat, segera bertobat kepada Allah,” papar Kiai Hamid. “Dan tobat tersebut bernafas kesinambungan, berkelanjutan untuk tidak mengulangi lagi kesalahannya.”

Dan sifat yang kelima, tambah Kiai Hamid, adalah tidak pernah putus asa kepada kasih sayang (rahmat) Allah.


Redaktur : Mukafi Niam
Kontributor: Hairul Anam

sumber :nu.or.id

Tuesday, April 3, 2012

ledakan di pasar afganistan hantam 13 siswa sekolah

Dua ledakan bom di sebuah pasar di provinsi Baghlan, Afghanistan utara, Senin, mencederai 24 orang, lebih dari separuh diantaranya anak-anak sekolah, kata sejumlah pejabat.

"Secara keseluruhan kami menerima 24 orang di rumah sakit, 17 diantaranya warga sipil, 13 dari mereka anak-anak sekolah," kata Abdul Qahar Qanit, seorang dokter di rumah sakit setempat.

Ia menyatakan, tujuh personel keamanan yang mencakup dua pejabat kepolisian daerah juga menjadi korban.

Ledakan-ledakan itu terjadi secara berurutan. Bom kedua meledak setelah pasukan keamanan tiba untuk menyelidiki ledakan pertama, kata kepala pemerintah daerah Amir Gul kepada AFP.

"Terjadi ledakan di Pasar Sher di Baghlan-i-Markazi. Ledakan pertama melukai sejumlah warga sipil, ledakan kedua terjadi tak lama setelah ledakan pertama," katanya.

Belum ada pihak yang mengklaim bertanggung jawab, namun ledakan-ledakan itu dilaporkan serupa dengan serangan yang dilancarkan Taliban sebagai bagian dari perang mereka melawan pemerintah Afghanistan dan sekutu Barat-nya.

Konflik meningkat di Afghanistan dengan jumlah kematian sipil dan militer mencapai tingkat tertinggi tahun lalu ketika kekerasan yang diklaim dikobarkan Taliban meluas dari wilayah tradisional di selatan dan timur ke daerah-daerah barat dan utara yang dulu stabil.

Jumlah warga sipil yang tewas meningkat secara tetap dalam lima tahun terakhir, dan pada 2011 jumlah kematian sipil mencapai 3.021, menurut data PBB.

Redaktur: Yudha Manggala P Putra
Sumber: Antara

sumber : republika.co.id

benarkah tahlilan dan yasinan itu haram

Judul : Benarkah Tahlilan & Kenduri Haram?

Penulis : Muhammad Idrus Romli

Editor: Achmad Ma’ruf Asrori

Penerbit: Khalista, Surabaya

Cetakan: I, 2012Tebal: v + 82 hlm.

Peresensi: Ach. Tirmidzi Munahwan


Buku kecil “Bernarkah Tahlilan dan Kenduri Haram”, yang sederhana ini ditulis oleh salah seorang anak muda NU dan sangat produktif menulis berasal dari Jember. Kehadiran buku ini dilatar belakangi saat penulis mengisi acara daurah pemantapan Ahlussunnah Waljama’ah di salah satu Pesantren di Yogyakarta. Ketika sampai dalam sesi tanya jawab, ada salah seorang peserta mengajukan pertanyaan kepada penulis tentang hukum selamatan kematian, tahlilan dan yasinan. Selain itu penaya juga memberikan selebaran Manhaj Salaf, setebal 14 halaman dengan kumpulan artikel berjudul “Imam Syafi’i Mengharamkan Kenduri Arwah, Tahlilan, Yasinan dan Selamatan”.

Tradisi tahlilan, yasinan, dan tradisi memperingati 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, dan 1000 hari orang yang meninggal dunia adalah tradisi yang telah mengakar di tengah-tengah masyarakat kita khususnya di kalangan warga nahdliyin. Dan tradisi tersebut mulai dilestarikan sejak para sahabat hingga saat ini, di pesantrenpun tahlilan, yasinan merupakan tradisi yang dilaksanakan setiap hari setelah shalat subuh oleh para santri. Sehingga tahlilan, yasinan merupakan budaya yang tak pernah hilang yang senantiasa selalu dilestarikan dan terus dijaga eksistensinya.

Seiring dengan lahirnya aliran-aliran baru seperti aliran wahabi atau aliran salafi yang telah diceritakan oleh penulis, tradisi tahlilan dan yasinan hanyalah dianggap sebatas budaya nenek moyang yang pelaksanaannya tidak berdasarkan dalil-dalil hadits atau al-Qur’an yang mendasarinya. Sehingga aliran Wahabi dan Aliran Salafi menolak terhadap pelaksanaan tradisi tersebut, bahkan mereka menganggapnya perbuatan yang diharamkam.

Tahlilan, yasinan merupakan tradisi yang telah di anjurkan bahkan disunnahkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Yang di dalamnya membaca serangkaian ayat-ayat al-Qur’an, dan kalimah-kalimah tahmid, takbir, shalawat yang di awali dengan membaca al-Fatihah dengan meniatkan pahalanya untuk para arwah yang dimaksudkan oleh pembaca atau yang punyak hajat, dan kemudian ditutup dengan do’a. Inti dari bacaan tersebut ditujukan pada para arwah untuk dimohonkan ampun kepada Allah, atas dosa-dosa arwah tersebut.

Seringkali penolakan pelaksanaan tahlilan, yasinan, dikarenakan bahwa pahala yang ditujukan pada arwah tidak akan menolong terhadap orang yang meninggal. Padahal telah seringkali perdebatan mengenai pelaksanaan tahlil di gelar, namun tetap saja ada pihak-pihak yang tidak menerima terhadap adanya tradisi tahlil dan menganggap bahwa tahlilan, yasinan adalah perbuatan bid’ah.

Para ulama sepakat untuk terus memelihara pelaksanaan tradisi tahlil tersebut berdasarkan dalil-dalil Hadits, al-Qur’an, serta kitab-kitab klasik yang menguatkannya. Dan tak sedikit manfaat yang dirasakan dalam pelaksanaan tahlil tersebut. Diantaranya adalah, sebagai ikhtiyar (usaha) bertaubat kepada Allah untuk diri sendiri dan saudara yang telah meninggal, mengikat tali persaudaraan antara yang hidup maupun yang telah meninggal, mengingat bahwa setelah kehidupan selalu ada kematian, mengisi rohani, serta media yang efektif untuk dakwah Islamiyah.

Buku ini menguraikan secara rinci tentang hukum kenduri kematian, tahlilan, yasinan, dan menjelaskan khilafiyah ulama salaf memberikan makanan oleh keluarga duka cita kepada orang-orang yang berta’ziah. Karena dikalangan ulama salaf masih memperselisihkan bahwa, memberikan makanan kepada orang-orang yang berta’ziah, ada yang mengatakan makruh, mubah, dan sunnah. Namun dikalangan ulama salaf sendiri tidak ada yang berpendapat tahlilan, yasinan merupakan perbuatan yang diharamkan. Bahkan untuk selamatan selama tujuh hari, berdasarkan riwayat Imam Thawus, justru dianjurkan oleh kaum salaf sejak generasi sahabat dan berlangsung di Makkah dan Madinah hingga abad kesepuluh hijriah (hal. 13).

Menghadiahkan amal kepada orang yang telah meninggal dunia maupun kepada orang yang masih hidup adalah dengan media do’a, seperti tahlilan, yasinan, dan amalan-amalan yang lainnya. Karena do’a pahalanya jelas bermanfaat kepada orang yang sudah meninggal dan juga kepada orang yang masih hidup. Seorang pengikut madzhab Hambali dan murid terbesar Ibnu Taimiyah, yaitu Ibnul Qoyyim al-Jauziyah menegaskan pendapatnya, seutama-utama amal yang pahalanya dihadiahkan kepada orang yang meninggal adalah sedekah.

Adapun membaca al-Qur’an, tahlil, tahmid, takbir, dan shalawat dengan tujuan dihadiahkan kepada orang yang telah meninggal dunia secara sukarela, ikhlas tanpa imbalan upah, maka hal yang demikian sampailah pahala itu kepadanya. Karena orang yang mengerjakan amalan yang baik atas dasar iman dan ikhlas telah dijanjikan oleh Allah akan mendapatkan pahala. Artinya, pahala itu menjadi miliknya. Jika meniatkan amalan itu untuk orang lain, maka orang lain itulah yang menerima pahalanya, misalnya menghajikan, bersedekah atas nama orang tua dan lain sebagainya.

Dengan demikian, buku ini layak dibaca oleh semua kalangan manapun baik yang pro maupun yang kontra terhadap adanya tradisi tahlilan dan yasinan. Agar supaya tradisi tahlilan dan yasinan yang sudah akrab ditengah-tengah masyarakat tidak lagi terus dipertanyakan mengenai kekuatan dalilnya. Sehingga agar tumbuh saling pengertian dan membangun solidaritas antar sesama muslim. Membaca buku kecil dan sederhana ini, pembaca akan mengetahui secara jelas terhadap dalil-dalil bacaan tahlilan, yasinan yang selama ini dikatakan haram dan perbuatan bid’ah. Wallahu a’lam

* Dosen Sekolah Tinggi Islam Blambangan (STIB) Banyuwangi

sumber : nu.or.id

bibit radikalisme telah ada sejak zaman rasullah

Said Aqil: Bibit Radikalisme Telah Ada Sejak Zaman Rasulullah

Persoalan radikalisme yang berkembang di Indonesia, sejatinya telah muncul di zaman Rasulullah, sehingga tidak heran jika kemudiaan sekarang ini radikalisme muncul dimana mana.

Hal tersebut ditegaskan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH. Said Aqil Siroj di hadapan ratusan ulama NU dan kiyai pesantren se Indonesia yang hadir pada acara konsolidasi ulama pesantren tingkat nasional yang digelar Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) di Hotel Kaisar Jakarta Ahad (1/4).

Dikatakan, bibit radikalisme muncul Ketika Rasulullah usai memenangi peperangan kemudian membagi harta rampasan perang dan hanya diberikan kepada kelompok muallaf, akan tetapi kelompok senior meski ikut perang akan tetapi tidak mendapat bagian.

Sikap Rasulullah itu tiba tiba saja mendapat perlawanan dari salah seorang bernama Dzil Khuwaisir dengan penampilan kurus pakaian jubah cingkrang dan berkata agar Rasulullah membagi harta rampasan perang dengan adil. Ketika yang bersangkutan pergi, Rasulullah berkata bahwa suatu ketika dari ummatku akan muncul kelompok seperti orang yang baru saja menemui saya, hafal Qur'an akan tetapi tidak mengerti isinya.

Prediksi Rasulullah ternyata betul-betul terbukti pada pemerintahan Kholifah Ali bin Abi Tholib, yakni peristiwa pembunuhan kepada Ali bin Ali Tholib dan pelakunya dalam kesehariannya ahli puasa hafal qur'an berasal dari kelompok Khawarij.

Menurut Kang Said, apa yang disampaikan Rasulullah sekarang ini telah terbukti, dimana mana kekerasan mengatasnamakan agama, padahal sebenarnya bukan untuk kepentingan agama.

Dirinya berharap kepada warga nahdliyyin untuk waspada terhadap gerakan radikalisme yang terus mengancam eksistensi Nahdlatul Ulama dimana gerakannya selalu mendapat support dana dari negara di Timur Tengah.

Redaktur : Mukafi Niam
Kontributor: Abdul Muis

sumber : nu.or.id

Monday, April 2, 2012

aqidah syab'iyya dan sejarah benih persatuan umat (2)

Aqidah Syaba’iyya dan Sejarah Benih Perpecahan Umat (2)
Oleh: Arham

/Tulisan PERTAMA/

Solidaritas para Sahabat

ADA satu poin penting yang perlu diperhatikan, yakni dalam sejarah tidak kita temui para sahabat saling berpecah belah satu sama lain yang menyebabkan permusuhan. Yang terjadi diantara mereka hanyalah perbedaan pendapat yang kadang kala diselesaikan dengan ijma' (kesepakatan), atau salah satu pihak tunduk kepada pendapat jama'ah serta tetap komitmen terhadap imam. Itulah yang terjadi dikalangan sahabat. Tidak ada seorang sahabat-pun yang memisahkan diri dari jama'ah. Tidak ada satupun diantara mereka yang melontarkan ucapan bid'ah atau mengada-ada perkara baru dalam Agama.

Pada zaman Khalifah Abu Bakkar, ketika ada pembangkangan di sebagian daerah Semenanjung dalam hal pembayaran zakat, Abu Bakkar dan sebagian kecil sahabat berpendapat untuk memerangi mereka. Maka di adakanlah rapat dalam rangkah membahas masalah ini, banyak sahabat yang tidak setuju kalau terjadi perang, dengan alasan mereka tidak boleh di perangi karena mereka juga adalah orang-orang yang beriman, Umar termasuk salah satu dalam barisan ini.

Walaupun akhirnya keputusan jatuh pada suara minoritas yang di pelopori Abu Bakkar dengan berkata “demi Allah, orang yang keberatan menunaikan zakat kepadaku, yang dulu mereka lakukan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallah akan aku perangi” maka terjadilah perang Riddah.

Perdebatan ketika itu cukup sengit yang saling berlawanan dan berkepanjangan. Jangan dikira para sahabat hanya manggut-manggut ketika di hadapan pimpinan mereka, Umari bin Khattan membantah pendapat itu dengan keras sampai-sampai mukanya memerah, tapi itulah sahabat, jiwa mereka sudah terdidik dan selalu menghindari perselisihan. Dengan kondisi yang memanas seperti itu mereka tetap menghargai Abu Bakkar sebagai pemegang tunggal pemerintahan saat itu.

Para sahabat merupakan imam dalam Agama yang mesti diteladani oleh kaum Muslimin. Tidak satupun dari kalangan sahabat yang memecah dari jama'ah. Dan tak satupun ucapan mereka yang menjadi sumber bid'ah dan sumber perpecahan. Adapun beberapa ucapan dan kelompok sempalan yang dinisbatkan oleh sejumlah oknum kepada para sahabat adalah tidak benar. Hanyalah dusta dan kebohongan besar yang mereka tujukan terhadap para sahabat.

Sangat keliru bila Ali bin Abi Thalib disebut sebagai sumber Syi'ah, Abu Dzar Al-Ghifari sebagai sumber sosialisme, para sahabat Ahlus Suffah sebagai cikal bakal kaum sufi, Mua'wiyah diklaim sebagai sumber Jabariyah, Abu Darda' dituduh sebagai sumber Qadariyah, atau sahabat lain menjadi sumber pemikiran sesat ini dan itu, mengada-adakan bid'ah dan perkara baru, atau punya pendirian yang menyempal.

Pada masa kekhalifahan Utsman, belum terjadi perpecahan yang serius. Namun ketika meletus fitnah di antara kaum muslimin pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, barulah muncul kelompok Khawarij dan Syi'ah.

Sementara pada masa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar bin Khattab, bahkan pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan, belum terjadi sama sekali perpecahan yang sebenarnya. Selanjutnya, para sahabat justru melakukan penentangan terhadap perpecahan yang timbul.

Jangan dikira para sahabat mengabaikan atau tidak tahu menahu tentang fenomena negatif ini. Dan jangan pula disangka mereka kurang tanggap terhadap masalah perpecahan ini, baik seputar masalah pemikiran, keyakinan, pendirian maupun perbuatan. Bahkan mereka tampil terdepan menentang perpecahan dengan gigih. Mereka telah teruji dengan baik dalam sepak terjang menghadapi perpecahan tersebut dengan segala tekad dan kekuatan.*

Penulis seorang guru dan penikmat sejarah Islam

Red: Cholis Akbar

sumber : hidayatullah.com

aqidah syab'iyya dan sejarah benih persatuan umat

Aqidah Syaba’iyya dan Sejarah Benih Perpecahan Umat
Oleh: Arham

AWAL munculnya Iftiraq (perpecahan) dalam sejarah Islam bermula setelah Khalifah Utsman bin Affan di bunuh oleh sekelompok pemberontak yang menganggap Utsman tidak fair (adil) dalam mengambil kebijakan selama menjadi Khalifah.

Ketika Ali bin Abi Thalib di lantik sebagai Khalifah untuk menggantikan Utsman, para pemberontak itu hadir dan mengadakan pendekatan kepada Ali dengan maksud mendukungnya, dipelopori oleh al-Gafiqi dari pemberontak Mesir sebagai kelompok terbesar, tapi Ali menolaknya. Namun justru yang mengherankan adalah mereka mala memusuhi Khlifah Ali bin Abi Thalib di kemudian hari.

Perkara ini kemudian menjadi penyebab utama perpecahan saat itu, ummat Islam terbagi kedalam dua kelompok, ada yang pro Ali dan ada yang kontra. Perpecahan terus berlanjut dan menjadi fitnah besar, yang menyebabkan peperangan demi peperangan terjadi dalam kubuh umat Islam.

Tapi yang perlu di garis bawahi bahwa munculnya seabrek tragedi/perpecahan sebelum dan sesudah pembunuhan Utsman, di sebabkan masyarakat sudah terjangkitnya aqidah Saba'iyah (paham yang menimbulkan perpecahan itu) yang merupakan cikal bakal aqidah Syi'ah dan Khawarij yang di taburkan ke tengah-tengah kaum muslimin.

Sebenarnya, masalah perpecahan (perselisihan), sudah pernah terjadi di kalangan para sahabat, tapi itu hanya berupa i'tiqad dan pemikiran yang tidak begitu didengar dan diperhatikan. Justru yang “menghebohkan” kaum muslimin dan membawa finah besar itu adalah aqidah Saba'iyah.

Nashir bin Abdul Karim Al-'Aql, dalam kitabnya Al-Iftiraaq Mafhumuhu ashabuhu subulul wiqayatu minhu yang di terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Abu Ihsan Al-Atsari menjelaskan, Aqidah ini disebarkan oleh penganutnya secara terselubung nyaris tanpa suara.

Orang pertama yang memunculkan juga asing, nama dan identitasnya tidak jelas. Orang menyebutnya Ibnu Sauda' Abdullah bin Saba'. Ia mengacaukan barisan kaum muslimin dengan aqidah sesat itu. Sehingga aqidah tersebut diyakini kebenarannya oleh sejumlah kaum munafikin, oknum-oknum yang merancang makar jahat terhadap Islam, orang-orang jahil dan pemuda-pemuda ingusan.

Begitu pula sekelompok barisan sakit hati yang negeri, agama dan kerajaan mereka telah ditundukkan oleh kaum muslimin, yaitu orang-orang yang baru memeluk Islam dari kalangan bangsa Parsi dan Arab Badui. Mereka membenarkan hasutan-hasutan Ibnu Saba', membuat makar tersembunyi atas kaum muslimin, hingga muncullah cikal bakal Syi'ah dan Khawarij dari mereka. Inilah keyakinan sesat yang pertama kali muncul kalau di tinjau dari kacamata aqidah dan keyakinan.

Khawararij dan terbunuhnya Sahabat Usman

Adapun kelompok yang pertama kali memisahkan diri dari imam kaum Muslimin adalah kelompok Khawarij. Benih-benih Khawarij ini sebenarnya berasal dari aqidah Saba'iyah. Banyak orang yang mengira keduanya berbeda, padahal sebenarnya cikal bakal Khawarij berasal dari pemikiran kotor Saba'iyah. Perlu diketahui bahwa Saba'iyah ini terpecah menjadi dua kelompok utama, Khawarij dan Syi'ah.

Kendati antara keduanya terdapat perbedaan-perbedaan yang mencolok, namun dasar-dasar pemikirannya sama. Baik Khawarij maupun Syi'ah muncul pada peristiwa fitnah atas diri Amirul Mukminin Utsman bin Affan.

Fitnah diprakarsai oleh Abdullah bin Saba' lewat ide, keyakinan dan gerakannya. Dari situlah muncurat aqidah sesat, yaitu aqidah Syi'ah dan Khawarij.

Perlu dipahami bahwa perbedaan antara Khawarij dan Syi'ah sebenarnya direkayasa sedemikian rupa oleh tokoh-tokohnya supaya dapat memecah belah umat.

Ibnu Saba' dan konco-konconya menabur beragam benih untuk menyuburkan kelompok-kelompok pengikut hawa nafsu itu. Kemudian membuat trik seolah-olah antara kelompok-kelompok itu terjadi permusuhan guna memecah belah umat sebagaimana yang terjadi dewasa ini. Itulah yang diterapkan oleh musuh-musuh Islam untuk mengadu domba kaum muslimin.

Mereka mengkotak-kotakan kaum muslimin menjadi berpartai-partai, partai sayap kanan dan partai sayap kiri. Begitu berhasil melaksanakan program, mereka munculkan babak permainan baru dengan istilah sekularisme, fundamentalisme, modernisme, primitif, ekstrimisme, radikalisme dan lain-lain. Semuanya adalah permainan yang sama, dari sumber yang sama pula. Para pencetusnya itu-itu juga demikian pula tujuannya, hanya saja corak ragamnya berbeda-beda. Jadi secara keseluruhan ini mencerminkan kuatnya kebatilan, kendati satu dama lain saling bermusuhan.

Akhirnya, bagi mereka yang masih dangkal imannya (tidak mendapat langsung bimbingan dari Nabi) pusing tujuh kaliling menghadapi situasi saat itu. Mereka bingung, kelompok mana yang akan diikuti, sebab masing-masing membenarkan kelompoknya dan ekstrim, sementara ada pemerintah yang sah dan disetujui oleh kaum Muslimin.

Dari sisi lain, kelompok ekstrim penuntut keadilan atas pembunuhan Khalifah Utsman (kelompok yang terjangkiti aqidah Saba'iya) terus mendesak Ali untuk ditindak lanjuti, mereka seenaknya membuat keputusan dan “mengadukan banding” kepada Khalifah.

Mu’awiyah bin Abi Sufyan yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Syam termasuk yang tegas menuntut balas atas kematian Utsman, bahkan pada saat Imam Ali mengirimkan surat agar Mu’awiyah mau membaiatnya, dia tetap bersikeras sebelum para pembunuh Utsman di tangkap dan dibunuh. Baju Utsman yang berlumuran darah menjadi senjata utamanya untuk menyemangati pengikutnya agar turut membantu.

Kondisi umat Islam pun saat itu sangat kacau-balau dan berada pada puncak tragis yang nyaris membuat sejarah Islam “gulung tikar” dan akhirnya beralih pemerintahan dari Khalifah ke Kerajaan.

Khalifah keempat, Ali bin Abi Thalib harus menanggung kenyataan pahit yang diserahi amanah sebagai pemimpin umat ketika awal munculnya huru-hara itu.

Setelah terbunuhnya Ustman, kekerasan diluar Madinah tak pernah berhenti, sampai masa pemerintahan Ali, seperti yang terjadi di Basrah dan Kufa. Perkembangan sebagian Umat Islam pun telah mengalami penyimpangan dari ajaran agamanya.

Pertama, hilangnya toleransi seperti yang diajarkan oleh Rasulullah dan oleh para sahabat dalam melihat perbedaan diluar ajaran aqidah dan syariat. Akhirnya lahir kaum garis keras yang merasa benar sendiri.

Kedua, para pendatang baru dalam Islam banyak yang terdiri dari orang yang belum menghayati ajaran Islam secara utuh dan belum pernah bertemu langsung denga Nabi atau sahabat-sahabat dekatnya.

Ketiga, pemahaman mereka tentang agama sangat dangkal dan sempit, sehingga mereka salah memahami al-Qur’an, seperti yang pernah dikatakan Nabi, “mereka membaca al-Qur’an, tetapi tidak sampai pada tulang-tulang selangka mereka”.

Akhirnya kerusuhan yang disebabkan perpecahan itu, berakhir dengan terbunuhnya Ali yang disusul kemudian oleh kedua putranya, Hasan dan Husein dan berpindahnya sistem daulah Islam dari Khalifah menjadi Kerajaan.* (bersambung)

Penulis adalah seorang guru dan penikmat sejarah

sumber : hidayatullah.com

nu dan pandangannya terhadap aliran syiah

NU dan Pandangannya Terhadap Aliran Sy’iah
Oleh: Kholili Hasib

TABLIGH Akbar menolak Syi’ah di Masjid al-Furqan-DDII pada 10 Juni 2011 lalu yang dihadiri oleh ormas-ormas Islam layak kita bicarakan kembali. Dari NU, hadir kubu muda, Gus Idrus Romli mewakili PWNU Jawa Timur. Gus Idrus, dikenal sebagai Kyai muda NU asal Jember yang rajin keliling kantong-kantong NU menjelaskan kemurnian akidah Ahlussunnah wal Jama’ah.

Sejak didirikan pertama kali pada 31 Januari 1926, NU melalui pendirinya Hadratus Syeikh Hasyim Asy’ari mengeluarkan rambu-rambu peringatan terhadap paham Syi’ah ini. Peringatan tersebut dikeluarkan agar warga NU ke depan hati-hati menyikapi fenomena perpecahan akidah.

Meski pada masa itu aliran Syi’ah belum sepopuler sekarang, akan tetapi Hasyim Asya’ari memberi peringatan kesesatan Syi’ah melalui berbagai karyanya. Antara lain; "Muqaddimah Qanun Asasi li Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’, "Risalah Ahlu al-Sunnah wal Jama’ah,al-Nur al-Mubin fi Mahabbati Sayyid al-Mursalin” dan “al-Tibyan fi Nahyi ‘an Muqatha’ah al-Arham wa al-Aqrab wa al-Akhwan”.

Hasyim Asy’ari, dalam kitabnya “Muqaddimah Qanun Asasi li Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’” memberi peringatan kepada warga nahdliyyin agar tidak mengikuti paham Syi’ah.

Menurutnya, madzhab Syi’ah Imamiyyah dan Syi’ah Zaidiyyah bukan madzhab sah. Madzhab yang sah untuk diikuti adalah Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali.

Beliau mengatakan: “Di zaman akhir ini tidak ada madzhab yang memenuhi persyaratan kecuali madzhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali). Adapun madzhab yang lain seperti madzhab Syi’ah Imamiyyah dan Syi’ah Zaidiyyah adalah ahli bid’ah. Sehingga pendapat-pendapatnya tidak boleh diikuti” (Muqaddimah Qanun Asasi li Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’, halaman 9).

Syeikh Hasyim Asy’ari mengemukakan alasan mengapa Syi’ah Imamiyyah dan Zaidiyyah termasuk ahli bid’ah yang tidak sah untuk diikuti. Dalam kitab Muqaddimah Qanun Asasi halaman 7 mengecam golongan Syi’ah yang mencaci bahkan mengkafirkan sahabat Nabi SAW.

Mengutip hadis yang ditulis Ibnu Hajar dalam Al-Shawa’iq al-Muhriqah, Syeikh Hasyim Asy’ari menghimbau agar para ulama’ yang memiliki ilmu untuk meluruskan penyimpangan golongan yang mencaci sahabat Nabi SAW itu.

Hadis Nabi SAW yang dikuti itu adalah: “Apabila telah Nampak fitnah dan bid’ah pencacian terhadap sahabatku, maka bagi orang alim harus menampakkan ilmunya. Apabila orang alim tersebut tidak melakukan hal tersebut (menggunakan ilmu untuk meluruskan golongan yang mencaci sahabat) maka baginya laknat Allah, para malaikat dan laknat seluruh manusia”.

Peringatan untuk membentengi akidah umat itu diulangi lagi oleh Syeikh Hasyim dalam pidatonya dalam muktamar pertama Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’, bahwa madzhab yang sah adalah empat madzhab tersebut, warga NU agar berhati-hati menghadapi perkembangan aliran-aliran di luar madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah tersebut.

Dalam Qanun Asasi itu, Syeikh Hasyim Asy’ari menilai fenomena Syi’ah merupakan fitnah agama yang tidak saja patut diwaspadai, tapi harus diluruskan. Pelurusan akidah itu menurut beliau adalah tugas orang berilmu, jika ulama’ diam tidak meluruskan akidah, maka mereka dilaknat Allah SWT.

Kitab “Muqaddimah Qanun Asasi li Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’” sendiri merupakan kitab yang ditulis oleh Syeikh Hasyim Asy’ari, berisi pedoman-pedoman utama dalam menjalankan amanah keorganisasian Nahdlatul Ulama. Peraturan dan tata tertib Jam’iyyah mesti semuanya mengacu kepada kitab tersebut.

Jika Syeikh Hasyim Asy’ari mengangkat isu-isu kesesatan Syi’ah dalam “Muqaddimah Qanun Asasi”, itu berarti persoalan kontroversi Syi’ah dinilai Syeikh Hasyim sebagai persoalan sangat penting untuk diketahui umat Islam Indonesia. Artinya, persoalan Syi’ah menjadi agenda setiap generasi Nahdliyyin untuk diselesaikan sesuai dengan pedoman dalam kitab tersebut.

Sikap tegas juga ditunjukkan Syeikh Hasyim dalam karyanya yang lain. Antara lain dalam “Risalah Ahlu al-Sunnah wal Jama’ah” dan “al-Nur al-Mubin fi Mahabbati Sayyid al-Mursalin” dan “al-Tibyan fi Nahyi ‘an Muqatha’ah al-Arham wa al-Aqrab wa al-Akhwan”, di mana cacian Syi’ah dijawab dengan tuntas oleh Syeikh Hasyim dengan mengutip hadis-hadis Nabi SAW tentang laknat bagi orang yang mencaci sahabatnya.

Hampir setiap halaman dalam kitab “al-Tibyan” tersebut berisi kutipan-kutipan pendapat parra ulama salaf salih tentang keutamaan sahabat dan laknat bagi orang yang mencelanya. Diantara ulama’ yang banyak dikutip adalah Ibnu Hajar al-Asqalani, dan al-Qadli Iyyadl.

Hadis-hadis Nabi SAW yang dikutip dalam dua kitab tersebut antara lain berbunyi:”Janganlah kau menyakiti aku dengan cara menyakiti ‘Aisyah”. “Janganlah kamu caci maki sahabatku. Siapa yang mencaci sahabat mereka, maka dia akan mendapat laknat Allah SAW, para malaikat dan sekalian manusia. Allah tidak akan menerima semua amalnya, baik yang wajib maupun yang sunnah”.

Pandangan yang sama pernah dilontarkan oleh KH. As’ad Syamsul ‘Arifin (alm), kyai kharismatik dari PP. Salafiyyah Syafi’iyyah Situbondo Jawa Timur pada tahun 1985. Saat itu Kyai As’ad diwawancarai Koran Surabaya Pos tentang faham Syi’ah di Jawa Timur. Kyai yang disegani oleh warga nadliyyin itu menampakkan sikap tegas, menurutnya kelompok Syi’ah ekstrem harus dihentikan di Indonesia. Agar tidak meluas gerakannya, Kyai As’ad mengimbau umat Islam Indonesia diminta meningkatkan kewaspadaannya (dikutip dari Majalah AULA no I/Tahun XVII/Januari 1996 halaman 23).

Jadi, sebenarnya sejak awal pendiri NU berpandangan bahwa paham Syi’ah telah melakukan penodaan agama. Bahkan jika mengamati butir-butir fatwa Syeikh Hasyim tersebut, penodaan Syi’ah itu telah melampau batas dan menukik jauh ke dalam keyakinan Ahlussunnah wal Jama’ah. Sehingga, sejak awalnya paham Syi’ah tidak diterima di kalangan NU.

Wacana-wacan NU untuk kembali ke khittah 1926 selayaknya tidak sekedar dimaknai bercerai dengan partai politik manapun, akan tetapi yang lebih terpenting lagi adalah khittah yang telah dibangun pendiri NU dilaksanakan saat ini oleh semua elemen warga NU. Yaitu khittah kembali kepada kitab Qanun Asasi.

Operasionalisasi khittah ini adalah membendung aliran sesat, seperti Syi’ah dan Ahmadiyyah. Khittah ini dapat dimaknai sebagai khittah untuk menjaga kemurnian akidah Ahlussunnah wal Jama’ah, bersih dari berbagai aliran-aliran sempalan yang menodai agama Islam. Karena berdirinya jam’iyyah NU adalah untuk menyebarkan paham yang benar tentang Ahlussunnah wal Jama’ah. Memang sudah semestinya, NU bersikap tegas terhadap aliran Syi’ah. Wallahu a’lam.

Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Institut Studi Islam (ISID) Gontor Ponorogo Jurusan Ilmu Akidah

Red: Panji Islam

sumber : hidayatullah.com

benarkah khalifah umar melabrak teks

Benarkah Khalifah Umar Melabrak Teks?
by : A. Wafi Muhaimin

PARA pengusung liberalisme di Indonesia seringkali menjadikan tokoh Khalifah Umar sebagai rujukan dalam mengekspresikan ide-ide mereka sehingga “ijtihad”-nya terasa mendapatkan legitimasi. Menurut mereka, Umar adalah seorang rasionalis sejati. Ijtihad Umar yang selalu mempertimbangkan konteks historis turunnya ayat dan pertimbangan kepentingan umum (al-mashlahah al-mursalah) sangat mewarnai perjalanan kepemimpinannya.

Mashlahah dan maqashid syari’ah yang mereka dengung-dengungkan sekilas lalu tidak ada problem karena konsep ini adalah salah satu “pusaka” para mujtahid dalam ber-istinbath. Namun dalam tataran praktisnya, di tangan mereka (orang-orang liberal), pusaka ini menjadi senjata beracun yang membuat mereka berani mengutak-atik wilayah yang sudah qath’i sehingga meracuni para pembaca.

Dengan mengusung kaidah ushul fikih “al-ibrah bi al-maqashid la bi al-alfadz” (yang menjadi pertimbangan adalah tujuan bukan lafadz) atau “jawaz naskh al-nushus bi al-mashlahah” (bolehnya penghapusan nash-nash dengan mashlahah), tanpa mereka sadari, sesungguhnya mereka telah membangun “tuhan” baru bernama “akal”. Mereka kemudian memunculkan kaidah “tanqih al nuhush bi al-‘aql al-mujtama’. [baca Ahmad Sahal, Umar bin Khaththab dan Islam Liberal, dalam luthfi assyaukanie (ed), wajah liberal islam di indonesia, hal: 4-5].

Kaidah ini hendak menyatakan bahwa akal publik memiliki kewenangan untuk menyulih dan mengamandemen sejumlah ketentuan “dogmatik” agama menyangkut perkara-perkara publik. Sehingga ketika terjadi pertentangan antara akal publik dengan bunyi harfiah teks ajaran, maka akal publik berotoritas untuk mengedit, menyempurnakan, dan memodifikasikannya.[ Counter Legal Draft KHI, Pembaharuah Hukum Islam: Kompilasi Hukum Islam Perempuan, dalam pendahuluan, hal: 17-18]

Padahal ada tiga unsur dalam ushul fiqih. Pertama, ma’rifah dala’il fiqhi (pengetahuan tentang dalil-dalil fiqih), kaifiyah al-istifadah (metodologi penggunaan dalil), dan hal mustafid (kriteria mujtahid). Tiga definisi tersebut kita bisa mengetahui, mana yang termasuk ushul fiqih dan mana yang bukan.

Sedangkan kaidah si penulis liberal sejak awal justru mengajak untuk meninggalkan lafadz-lafadz (dalil), baik dari al-Qur’an atau as-Sunnah. Jadi, sangat jelas, kaum liberal umumnya tidak memahami makna ushul fiqih, dan batasan-batasan definisinya. Dan yang kedua, umumnya mereka (dengan keterbatasan ilmu) sok ingin membuat kaidah layaknya para ulama mujtahid. Padahal kualifikasinya tidak layak melakukan ijtihad.

Pertanyaannya, benarkah khalifah Umar sering melabrak teks?

Satu hal yang tidak banyak diperhatikan terhadap khalifah Umar adalah kedudukannya waktu itu. Ketika banyak melakukan ijtihad, Khalifah Umar waktu itu berfungsi sebagai penguasa, ini berbeda dengan Khalifah Ali yang berfungsi sebagai hakim (qadhi) atau Ibnu Mas’ud yang berfungsi sebagai guru.

Perbedaan fungsi itu telah melahirkan gerak ijtihad yang berbeda. Umar dalam proses pengambilan keputusannya sering dihadapkan kepada soal-soal yang rumit dan mendesak. Situasi perang sedang terjadi dan bergolak ketika menghadapi tentara Romawi dan Persia.

Yang perlu diperhatikan lagi adalah keunikan Umar dalam potensi intelektualnya. Ia cenderung “revolusioner”, tanggap baliknya cepat dalam menyelesaikan masalah tertentu. Kedudukan dan fungsi inilah yang sering dilupakan orang sehingga ia sering menjadi bulan-bulanan “kambing hitam”, padahal dalam kajian-kajian fiqh sering kita peroleh bahwa Umar merujuk kembali kepada nash. Dalam kitab “Al-Muhalla” karya Ibnu Hazm diceritakan bahwa dalam kasus mahar dan tanah Iraq, Umar merujuk kembali kepada nash.[ Prof. KH. Ali Yafie, “Sistem Pengambilan Hukum oleh Aimmatu al-Madzahib” tanggapan atas tanggapan Jalaluddin Rakhmat, dalam Abdurrahman Wahid, Kontroversi Pemikiran Islam di Indonesia.]

Disamping itu, Khalifah Umar sebagai penguasa tentunya tetap memegang teguh hadist nabi ”kullukum ra’in wa kullukum mas’uluun ‘an ra’iyatihi, sehingga dengan penuh kesadaran dan kehati-hatian, ia memperlakukan rakyatnya dengan seadil-adilnya. Bahkan dalam gerak ijtihad-nya, ia senyatanya tidak melawan teks akan tetapi mengamalkan teks yang lain yang dianggap lebih sesuai dengan masa dan kebutuhan rakyatnya. Ia juga melahirkan gagasan-gagasan baru tidak semata-mata karena ia mempunyai otoritas kebijakan. Hal ini terbukti, dalam banyak ijtihadnya ia banyak melibatkan para sahabat dengan cara bermusyawarah.

Tidak memotong tangan pencuri

Di bawah ini ada kasus ijtihad khalifah Umar. Dalam “al-Syaikhan” (Bukhari Muslim), disebutkan bahwa di akhir tahun ke delapan belas Hijriyah, masyarakat Arab di Hijaz, Tihana dan Najd mengalami musim kemarau panjang atau masa paceklik. Selama sembilan bulan tidak turun hujan padahal hujan menjadi sumber kehidupan mereka. Ada riwayat yang mengatakan bahwa pada masa inilah Khalifah Umar tidak menjatuhkan hukuman potong tangan terhadap pencuri.

Diriwayatkan oleh Qasim bin Abdurrahman bahwa ada seorang laki-laki yang mencuri harta Baitul Mal, lalu Sa’ad bin Abi Waqas menulis surat kepada khalifah umar perihal laki-laki tersebut. Umar pun membalas surat Sa’ad yang isinya pelarangan potong tangan bagi pencuri karena ia menganggap pencuri itu mempunyai hak terhadap harta Baitul Mal.

Bahkan Imam Malik dalam kitab “al-Muwatta’”-nya meriwayatkan bahwa Abdullah bin Amr al-Hadhrami datang mengadu kepada khalifah Umar perihal budaknya yang mencuri cermin putrinya yang harganya 60 dirham, tapi jawaban khalifah Umar ketika itu, “Lepaskanlah dia, tiada pemotongan baginya.” Dan masih banyak riwayat yang lain.

Ada sebagian orang yang beranggapan bahwa dalam kasus di atas, Khalifah Umar seolah menafikan ayat tentang perintah potong tangan untuk pencuri (al-Maidah/38) padahal ayatnya sangat jelas. Bahkan, Rasulullah pernah bersabda: ”Demi Allah, seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya Muhammad benar-benar memotong tangannya.” Lalu pertanyaannya, benarkah Khalifah Umar menafikan nash? Maka jawabannya sama sekali tidak benar. Karena jika kita memahami definisi pencuri, maka orang yang mengambil harta pada tahun paceklik tidak bisa dikatakan pencuri (saariq), karena ia mempunyai hak terhadap apa yang ia ambil. Sebagaimana yang kita fahami bahwa yang dikatakan pencuri adalah orang yang mengambil harta milik orang lain atau bukan haknya dengan cara sembunyi-sembunyi.

Maka sangat beralasan jika khalifah Umar tidak memberi sanksi dengan potong tangan kala itu. Di samping itu, mengingat motivasi mencuri ketika itu masih syubhat, antara mencuri dengan disengaja atau karena darurat. Maka berlakulah kaidah umum yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas bahwa Rasulullah bersabda: “Idrra’uu al-hudud bi al-syubuhat.” (Tinggalkanlah sanksi sebab adanya syubhat). Atau kaidah umum yang diriwayatkan Abu Daud dan Nasa’i dari Aisyah bahwa Nabi bersabda: “Tangguhkanlah sanksi terhadap orang Islam semampumu. Jika ada jalan keluar, maka biarkan mereka melewati jalan itu.”

Sesungguhnya pemerintah yang salah di dalam memaafkan lebih baik dari pada salah dalam pelaksanaan sanksi. [Muhammad Muhammad Madani, “Nadzaraat Fi Ijtihadaat al-Faruq Umar bin Khatthab”, (bairut: darr an-nafais), hal: 70-72]

Dalam kasus di atas dapat disimpulkan bahwa pendapat Khalifah Umar tidak melaksanakan hukuman potong tangan karena ia meneliti subjek pelakunya yang berada dalam keadaan darurat, yaitu kesulitan mendapatkan makanan ketika itu. Dalam kitab fiqh, Umar juga disebutkan “Barang siapa yang mencuri dalam keadaan darurat hendaklah meninggalkan sanksi karena terdapat perkara yang syubhat dan hendaklah membolehkan perkara yang diharamkan karena darurat (al-dharurah tubiihu al-mahdhuraat). (Ruwai’I bin Rajah al-Ruhaili, “Fiqh Umar Ibn Khaththab”, Beirut; Dar al-Gharb al-Islami, 1403 h0 juz 1, hal 2915).

Oleh karena itu, dalam kasus pencurian yang masih syubhat, Khalifah Umar mengamalkan hadits Nabi dan sama sekali tidak bertentangan dengan al-Maidah ayat 38. Selain itu, sesungguhnya semangat hukuman dalam Islam adalam lebih banyak memberi ampunan dan tidak mudah memberi hukuman. Namun tidak berarti para khalifah seperti Umar dianggap melabrak/melawan teks al-Quran. Wallahu a’lam.*

Penulis adalah Kandidat Master Ushul Fiqh, International Islamic University Malaysia, aktiv di Islamic Studies Forum for Indonesian (ISFI)

Red: Cholis Akbar

sumber : hidayatullah.com

inilah tokoh-tokoh gerakan salafiyah

Imam Ahmad bin Hanbal

Ia adalah seorang ulama dan intelektual Muslim terpenting dalam sejarah peradaban Islam. Umat Islam di Indonesia biasa menyebutnya Imam Hambali. Sosok ahli fikih pendiri Mazhab Hambali itu begitu populer dan legendaris. Namun, ulama yang hafal satu juta hadis dan selalu tampil bersahaja itu tak pernah ingin apalagi merasa dirinya terkenal.

Ahmad bin Hanbal dikenal sebagai ulama yang berotak brilian. Kecerdasannya diakui para ulama besar di zamannya. Penulis sederet kitab penting bagi umat Islam itu juga dikenal sebagai seorang ulama yang berilmu tinggi, saleh, dan berakhlak mulia. Kemuliaan yang ada dalam diri Imam Ahmad bin Hanbal telah membuat guru-gurunya kagum dan bangga.

Imam Syafi'i menjuluki muridnya itu sebagai imam dalam delapan bidang. Imam dalam hadis, Imam dalam fikih, Imam dalam bahasa, Imam dalam Alquran, Imam dalam kefakiran, Imam dalam kezuhudan, Imam dalam wara', dan Imam dalam sunah. Ia terlahir di Merv, Asia Tengah (sekarang Turkmenistan), pada 20 Rabiul Awal tahun 164 H. Ia tutup usia di baghdad pada 12 Rabi'ul Awal tahun 241 H, di usianya yang ke-77.


Ibnu Taimiyah

Ibnu Taimiyah adalah ulama dan pemikir Islam yang disegani karena ketokohan dan keluasan ilmunya. Ia telah menulis ribuan buku. Ia dijuluki beragam gelar, seperti Syaikhul Islam, Imam, Qudwah, 'Alim, Zahid, Da'i, dan lain sebagainya.

Ia bernama lengkap Ahmad bin Abdis Salam bin Abdillah bin Al-Khidir bin Muhammad bin Taimiyah An-Numairy al-Harrany al-Dimasyqy. Terlahir di Harran, sebuah kota induk di Jazirah Arabia yang terletak di antara sungai Dajalah (Tigris) dan Efrat, pada Senin, 12 Rabi'ul Awal 661 H (1263 M).

Ketika masih berusia belasan tahun, Ibnu Taimiyah sudah hafal Alquran dan mempelajari sejumlah bidang ilmu pengetahuan di Kota Damsyik kepada para ulama-ulama terkenal di zamannya. Dia kemudian menjadi Bapak Pembaharuan Islam lewat gerakan Salafiyah yang dikembangkannya.


Ibnu Qayyim Al-Jauziyah

Nama lengkapnya Muhammad bin Abi Bakar bin Ayub bin Sa'ad Zur'i ad-Damsyiq. Ulama besar ini lebih dikenal dengan sebutan Ibnul Qayyim al-Jauziyah. Ia adalah seorang ulama, ahli tafsir, penghafal Alquran, ahli nahwu, usul fikih, ilmu kalam, dan juga seorang mujtahid (ahli fikih) kenamaan.

Tak cuma itu, Ibnul Qayyim al-Jauziyah dikenal pula sebagai seorang cendekiawan Muslim dan ahli fikih kenamaan dalam mazhab Hanbali yang hidup pada abad ke-13 Masehi. Ulama yang bergelar Abu Abdullah Syamsuddin ini dilahirkan di Damaskus, Suriah pada 691 H/1292 M, dan wafat pada 751 H/1352 M. Ia merupakan murid Ibnu Taimiyah yang sangat fanatik.

Jamaluddin Al-Afgani

Nama lengkapnya adalah Jamaluddin al-Afgani as-Sayid Muhammad bin Shafdar al-Husain. ia lebih dikenal dengan Jamaluddin al-Afgani. Dunia Islam mengenalnya sebagai seorang pemikir Islam, aktivis politik, dan jurnalis terkenal. Kebencian al-Afgani terhadap kolonialisme menjadikannya perumus dan agitator paham serta gerakan nasionalisme dan pan-Islamisme yang gigih, baik melalui pidatonya maupun tulisan-tulisannya.
Di tengah kemunduran kaum Muslimin, al-Afgani menjadi seorang tokoh yang amat mempengaruhi perkembangan pemikiran dan aksi-aksi sosial pada abad ke-19 dan ke-20. Ia dilahirkan di Desa Asadabad, Distrik Konar, Afganistan pada tahun 1838, al-Afgani masih memiliki ikatan darah dengan cucu Rasulullah SAW, Husain bin Ali bin Abi Thalib. Pada tahun 1879, al-Afgani membentuk partai politik dengan nama Hizb al-Watani (Partai Kebangsaan).

Muhammad Abduh

Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah. Ia Dilahirkan di desa Mahallat Nashr di Kabupaten al-Buhairah, Mesir pada 1849 M dan wafat pada 1905 M. Pendidikan pertama yang ditekuni Muhammmad Abduh adalah belajar Alquran. Pada usia 12 tahun, ia telah hafal kitab suci Alquran.

Ketika menjadi mahasiswa di Al Azhar, pada tahun 1869 Abduh bertemu dengan seorang ulama' besar sekaligus pembaharu dalam dunia Islam, Jamaluddin Al Afghani, dalam sebuah diskusi. Sejak saat itulah Abduh tertarik kepada pemikiran Jamaluddin Al Afghani dan banyak belajar darinya. Al-Afghani banyak mempengaruhi pemikiran Muhammad Abduh.

Rasyid Ridha

Ia bernama lengkap Muhammad Rasyid bin Ali Ridha bin Syamsuddin bin Baha'uddin Al-Qalmuni Al-Husaini. Namun, dunia Islam lebih mengenalnya dengan nama Muhammad Rasyid Ridha. Ia lahir di daerah Qalamun (sebuah desa yang tidak jauh dari Kota Tripoli, Lebanon) pada 27 Jumadil Awal 1282 H bertepatan dengan tahun 1865 M.

Selain menekuni pelajaran di sekolah tempat ia menimba ilmu, Rasyid Ridha juga rajin mengikuti beberapa perkembangan dunia Islam melalui surat kabar Al-'Urwah Al-Wusqo (sebuah surat kabar berbahasa Arab yang dikelola oleh Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh, dan diterbitkan selama masa pengasingan mereka di Paris).

Melalui surat kabar ini, Rasyid Ridha mengenal gagasan dua tokoh pembaru yang sangat dikaguminya, yaitu Jamaluddin Al-Afghani, seorang pemimpin pembaru dari Afghanistan, dan Muhammad Abduh, seorang pembaru dari Mesir. Ide-ide brilian yang dipublikasikan itu begitu berkesan dalam dirinya dan menimbulkan keinginan kuat untuk bergabung dan berguru pada kedua tokoh itu.

Sir Sayid Ahmad Khan

Sir Sayid Ahmad Khan dikenal sebagai seorang tokoh pembaru di kalangan umat Islam India pada abad ke-19. Dia dilahirkan di India pada 1817. Nenek moyangnya berasal dari Semenanjung Arab yang kemudian hijrah ke Herat, Persia (Iran), karena tekanan politik pada zaman dinasti Bani Umayyah.

Redaktur: Heri Ruslan

sumber : republika.co.id

Umar tak percaya Nabi Wafat

Sejarah Hidup Muhammad SAW: Umar tak Percaya Nabi Wafat

Wafatnya Rasulullah SAW sangat mengejutkan kaum Muslimin yang sedang berada dalam masjid. Sebab, pagi harinya mereka melihat Nabi SAW menunjukkan tanda-tanda kesembuhan.

Setelah mengetahui hal itu, Umar segera ke tempat disemayamkannya jenazah Rasulullah. Ia tidak percaya bahwa Rasulullah sudah wafat. Ketika dia datang, dibukanya tutup wajah beliau. Ternyata beliau sudah tidak bergerak lagi.

Umar menduga bahwa Nabi sedang pingsan, tentu akan siuman lagi. Mughirah meyakinkan Umar atas kenyataan yang pahit ini, namun Umar tetap berkeyakinan bahwa Rasulullah tidak wafat. Oleh karenanya Mughirah ngotot dan berkata kepada Umar, "Engkau dusta!"

Kemudian Umar keluar ke masjid sambil berteriak, "Ada orang dari kaum munafik yang mengira bahwa Rasulullah SAW telah wafat. Tetapi demi Allah, sebenarnya dia tidak meninggal, melainkan ia pergi kepada Tuhan, seperti Musa bin Imran. Ia telah menghilang dari tengah-tengah masyarakatnya selama 40 hari, kemudian kembali lagi ke tengah mereka setelah dikatakan dia sudah mati. Sungguh, Rasulullah pasti akan kembali seperti Musa juga. Orang yang menduga bahwa dia telah meninggal, tangan dan kakinya harus dipotong!"

Teriakan Umar yang kencang dan berulang-ulang ini didengar oleh kaum Muslimin di masjid. Mereka pun kebingungan. Mereka kemudian mengerumuni Umar, memercayai pendapatnya, bahwa Rasulullah tidak meninggal.

Tiba-tiba Abu Bakar Ash-Shiddiq datang. Ketika dilihatnya kaum Muslimin dalam keadaan demikian, dan Umar sedang berpidato, ia tidak berhenti lama-lama di tempat itu melainkan terus ke rumah Aisyah tanpa menoleh lagi.

Ketika masuk ke rumah putrinya, dilihatnya Nabi di salah satu bagian dalam rumah itu sudah diselubungi burd hibara (kain buatan Yaman). Abu Bakar menyingkap selubung itu dari wajah Nabi dan menciumnya seraya berkata, "Alangkah indahnya di waktu engkau hidup, alangkah indahnya pula di waktu engkau mati. Demi ibu-bapakku, maut yang sudah ditentukan Allah kepadamu sekarang sudah sampai kau rasakan. Sesudah itu takkan ada lagi maut menimpamu."

Sesudah itu, Abu Bakar keluar. Ternyata Umar masih bicara dan meyakinkan orang-orang bahwa Muhammad SAW tidak meninggal. Orang banyak memberikan jalan kepada Abu Bakar. "Sabar, sabarlah Umar!" kata Abu Bakar, setelah ia berada di dekat Umar. "Dengarkan!"

Tetapi Umar tidak mau diam dan juga tidak mau mendengarkan. Ia terus saja bicara. Abu Bakar menghampiri orang-orang itu seraya memberi isyarat, bahwa dia akan bicara dengan mereka. Setelah mengucapkan puji syukur kepada Allah Abu Bakar berkata, "Saudara-saudara, barangsiapa mau menyembah Muhammad, maka Muhammad sudah meninggal. Tetapi barangsiapa mau menyembah Allah, maka Allah selalu hidup dan tak pernah mati."

Kemudian Abu Bakar membacakan firman Allah, "Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah Jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikit pun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur." (QS. Ali Imran: 144).

Setelah didengarnya Abu Bakar membacakan ayat itu, Umar jatuh tersungkur ke tanah. Kedua kakinya sudah tak dapat menahan lagi, setelah ia yakin bahwa Rasulullah memang sudah wafat. Adapun orang banyak—yang sebelumnya sudah terpengaruh oleh pendapat Umar—begitu mendengar bunyi ayat yang dibacakan Abu Bakar, langsung sadar. Seolah-oleh mereka tidak pernah mengetahui bahwa ayat ini pernah turun. Dengan demikian segala perasaan yang masih ragu-ragu bahwa Rasulullah SAW sudah berpulang ke rahmat Allah, dapat dihilangkan.


Redaktur: Chairul Akhmad
Sumber: Sejarah Hidup Muhammad oleh Muhammad Husain Haekal

sumber : republika.co.id

positive thinking pada para sahabat nabi (2)

Positive Thinking pada Para Sahabat Nabi (2)
Oleh: A. Wafi Muhaimin

/Tulisan Sebelumnya/

Penyelewengan Sejarah

Menurut Imam Nawawi, perpecahan dan pertikaian yang terjadi pada masa khalifah Ustman dan khalifah Ali adalah terletak pada perbedaan ijtihad umat Islam. Gerak Ijtihad itu menyebabkan umat Islam terpecah menjadi tiga golongan. Golongan Pertama, beranggapan bahwa ada golongan yang benar dan harus ditolong sedang yang menentang golongan ini harus diperangi. Golongan kedua, beranggapan sebaliknya. Yang benar ada di pihak yang dianggap golongan pertama salah sehingga harus di tolong dan golongan pertama harus diperangi. Dan golongan ketiga, mereka yang masih bingung, tidak bisa membedakan mana yang benar antara yang di dukung golongan pertama maupun golongan yang kedua. golongan ini lebih memilih keluar.(al-Nawawi dalam “Syarh Shahih Muslim”, juz 15/1).

Dalam buku “Tahqiq Mawaqif al-Sahabah fi al-Fitnah” dinyatakan bahwa tujuan Talhah, Zubair, Aisyah dan Muawiyah ketika men-demo khalifah Ali tiada lain hanyalah untuk menuntut agar sanksi (Qishas) terhadap pembunuh Ustman disegerakan.( dalam Minhaj al-Sunnah li Ibn Taimiyyah, 2/219-220). Mereka menganggap bahwa Ali tidak tegas.

Sebaliknya, Ali berada pada posisi dilematis antara menyegerakan atau menunda. Ia pun memilih menunda untuk menjaga stabilitas Negara yang masih kacau. Hal ini sangat beralasan karena pelaku pembunuhan Utsman dapat dipastikan adalah kelompok dari para pendemo, yang jika disegerakan akan menimbulkan konflik berkepanjangan di dalam internal kepemimpinannya.

Pada akhirnya, perang saudarapun tak dapat dihindari antara kubu Ali dengan kubu Ummul Mu’miniin, Aisyah, yang dikenal dengan perang Jamal, dan perang Shiffin antara kubu Ali dan dan kubu Muawiyah.

Pasca perang Shiffin terjadilah apa yang dikenal dengan Tahkim (arbitrase) untuk mendamaikan kedua belah pihak (pihak Ali dan pihak Mu’awiyah), yang dalam hal ini kubu Ali merasa dirugikan. Maka sejarah pertikaian umat Islam pun semakin kelam. Umat Islam semakin terpecah-belah. Semangat fanatisme meraja-lela hingga pada akhirnya bermunculan hadist-hadist palsu untuk mendukung kelompoknya masing-masing.

Mu’awiyah pun diserang habis-habisan. Pada masa kepemimpinannya, ia dianggap telah menyuruh rakyatnya untuk mencaci maki Ali. Umat Islam disodori dengan kisah-kisah yang penuh hasutan bahwa yang meracuni Hasan bin Ali, cucu Rasulullah, adalah Mu’awiyah atau putranya, Yazid bin Mu’awiyah.

Bahkan bukan hanya itu, Yazid bin Mua’wiyah dianggap aktor dibalik pembataian berdarah di padang karbala yang menyebabkan cucu Nabi, Husein bin Ali terbunuh dengan cara yang sangat keji, dan lain sebagainya. Tuduhan ini sama sekali tidak berdasar, dan banyak ulama yang membantahnya seperti Ibn al-‘Arabi, Ibn Taimiyyah, al-Dzahabi, Ibn Katsir, Ibn Khaldun dan lain sebagainya. (dalam al-Daulah al-Umawiyyah: Tarikh wa Hadharah)

Bagaimana seharusnya kita bersikap?

Ulama salafuna-shaleh mengajarkan kita dengan penuh kearifan, bagaimana seharusnya kita menyikapi sejarah kelam (fitnah kubra) pertikaian para sahabat?

Ada adegium “al-Sukutu ‘Amma Syajara baina Ashab Rasulillah Shallahu 'Alaihi Wassalam.” yang menjadi pegangan Ahlus-Sunnah wal-Jamaah, yaitu apa yang terjadi di antara sahabat hendaknya kita diam, tidak boleh ikut mencaci-maki dan tidak boleh ber-negative thinking kepada para sahabat. (baca “Ma’arij al-Qabul syarh sullam al-Ushul Ila ‘ilm al-Ushul fi ‘ilm Tawhid”)

Dalam kasus pertikaian antara Khalifah Ali dan Mu’awiyah, ahlus-Sunnah beranggapan bahwa dua golongan tersebut sama-sama dibenarkan (demikian juga dengan kasus perang Jamal). Mereka adalah orang-orang yang ikhlas dalam memperjuangkan Islam.

Perbedaan mereka terletak pada perbedaan ijtihad. Dan dalam keikhlasan dalam ijtihad mereka, mereka akan diganjar (mendapatkan pahala), baik yang benar ijtihad-nya maupun yang salah. Dan pahala ijtihad yang benar lebih besar dari pada pahala yang Ijtihad yang salah.

Tulisan ini akan penulis tutup dengan falsafah fikihnya Syaikh Yusuf Qardawi dalam bukunya “Syaikh al-Gazali kama ‘araftu” bahwa “Air yang sudah mencapai dua kullah, tidak akan kotor hanya karena kemasukan najis (yang sedikit)”. Dalam artian, sahabat memang bukan manusia ma’sum yang terbebas dari kesalahan, namun sangat tidak bijak jika karena kesalahan yang sedikit itu akan menghapus kebaikan-kebaikan yang luasnya laksana lautan.

Apa yang terjadi di antara mereka jadikan sebagai pelajaran, karena di dalam tragedi itu ada hikmah dan rahasia yang luar biasa. Dan hendaknya kebaikan-kebaikan para sahabat menjadi uswah bagi kita untuk diteladani. Wallahu ‘alam.*

Penulis adalah Mahasiswa program Ushul Fiqh di International Islamic University Malaysia (IIUM) dan peneliti ISFI (Islamic Studies Forum For Indonesia)

Red: Cholis Akbar

sumber : hidayatullah.com

positive thinking pada para sahabat nabi

Positive Thinking pada Para Sahabat Nabi
By : A. Wafi Muhaimin

MEMBACA sejarah umat manusia yang penuh dengan intrik dan tendensi rasanya sulit sekali menyimpulkan kebenarannya seratus persen. Disamping itu, ketika kita membaca sejarah, kita di ajak untuk menelusuri zona “spekulasi” antara asbab al-waqi’ dan motif sang pelakon. Disinilah dibutuhkan kearifan dan ketelitian dalam menelusuri lembaran-lembaran sejarah apalagi sejarah pertikaian awal umat Islam. Pada akhirnya, sejarah itu akan bertutur tentang hikmah dan pelajaran berharga untuk umat selanjutnya.

Saqifah Bani Sa’idah

Bermula dari tragedi di Saqifah bani Sa’idah, semangat kesukuan di kalangan Anshar, antara Khazraj dan ‘Aus, yang pada masa Nabi bisa disatukan berpotensi bangkit kembali. Gelagat yang tidak sehat ini dapat dibaca oleh sayyidina Umar, maka ia mengajak sayyidina Abu Bakar dan Abu Ubaidah bin al-Jarrah untuk datang ke balairung tersebut. Silang sengketa pun semakin melebar menjadi perseteruan antara Muhajirin dan Anshar.

Terjadilah dialog panjang yang pada akhirnya terpilihlah Abu Bakar sebagai khalifah pertama. Dari sinilah kemudian benih-benih penyelewengan sejarah umat Islam dimulai. bermula dari tuduhan sebagian kalangan syi’ah bahwa Abu Bakar dan Umar adalah perampok kekuasaan karena telah mengambil hak sayyidina Ali. Ali-lah menurut mereka yang berhak menggantikan Nabi. Ali ketika itu tidak bisa hadir karena sibuk mengurusi pemandian dan persiapan penguburan Nabi. Tuduhan-tuduhan itu terkesan semakin beralasan ketika dibenturkan dengan waktu itu dimana umat Islam masih dalam keadaan berkabung dengan wafatnya Nabi bahkan ketika itu Nabi belum dikuburkan. Sebuah pemandangan yang mengherankan ketika sahabat setia Nabi (Abu Bakar dan Umar) meninggalkan beliau demi sebuah kekuasaan. Lalu pertanyaannya, benarkah Abu Bakar dan Umar ambisi kekuasaan?.

Tidak ada yang menyangsikan kesetiaan dua sahabat Nabi ini, Abu Bakar dan Umar. Mereka berdua adalah termasuk sahabat-sahabat garda depan yang menjadi benteng pertahanan umat Islam. Kecintaan mereka kepada Nabi melebihi kecintaan mereka kepada dirinya sendiri. Abu bakarlah yang menemani Nabi saat dikejar-kejar kafir Quraisy pada waktu hijrah. Ia yang menggendong Nabi saat Nabi tak beralas kaki. Ia yang dalam perjalanan menuju gua tsur terkadang berada di depan Nabi dan terkadang dibelakangnya hanya karena takut ada musuh yang akan melukai Nabi. Ia yang masuk duluan ke dalam gua tsur hanya karena takut ada hewan buas yang akan mencelakakan Nabi. Dan sejarahpun mencatat bagaimana pengorbanannya demi Islam. Demikian juga dengan Umar, kecintaannya kepada Nabi luar biasa. Saat mendengar Nabi telah wafat, ia menghunuskan pedangnya dan akan memenggal siapa saja yang mengatakan Nabi telah wafat. Ia yang paling tidak siap untuk ditinggal Nabi. Ambruklah ia ketika tahu bahwa Nabi telah wafat. Ia tidak pernah terima jika Nabinya disakiti. Lalu bagaimana mungkin mereka berdua akan meninggalkan Nabi sebelum beliau dikuburkan jika bukan karena adanya bahaya besar yang sedang mengancam umat Islam. Nabi memang telah wafat tapi agama Islam harus tetap tegak. Umat Islam harus tetap bersatu. Dan kekhawatiran itu beralasan mengingat semangat kesukuan orang Arab sudah terkenal sejak zaman jahiliyah. Maka tidak mengherankan jika Abu Bakar dan Umar sebagai sahabat yang sangat berpengaruh di kalangan umat Islam turun tangan. Dan sangat tidak beralasan jika mereka dianggap ambisi kekuasaan. Karena sebetulnya sebagaimana diceritakan sejarawan Ibn Ishaq bahwa pada waktu itu, Abu Bakar memegang tangan Umar dan Abu Ubaidah sembari berseru: “Bila kalian rela memilih di antara kedua orang ini, maka bai’atlah salah satu dari keduanya!”

Melihat tidak ada jawaban spontan dan melihat gelagat yang mengkhawatirkan, Umar segera berseru lantang: “Hai Abu Bakar, ulurkanlah tanganmu!” Abu Bakar lalu mengulurkan tangan-nya dan Umar segera membai’atnya dengan menyebut-nyebut keutamaannya.

Andai Abu Bakar mempunyai ambisi kekuasaan tentunya dia tidak akan menawarkan Umar maupun Abu Ubaidah untuk dibai’at. Demikian juga dengan Umar, ia tidak mungkin langsung membai’at Abu Bakar jika ia punya ambisi kekuasaan. Sekali lagi, mereka melakukan hal itu semata-mata demi terjaganya keutuhan umat Islam.

Tragedi Pembunuhan Khalifah Utsman

Sebuah demo besar-besaran terjadi pada zaman khalifah Utsman yang berending pada terbunuhnya Utsman. Berawal dari ketidak-puasan umat Islam melihat kesewenang-wenangan pemerintah di Mesir, hingga pada akhirnya terpilihlah Muhammad bin Abu Bakar untuk menggantikan gubernur Mesir tersebut. Usai demo, Muhammad bin Abu Bakar dan kelompoknya kembali lagi ke Mesir. Namun malangnya, ditengah perjalanan mereka menjumpai budak hitam yang mengaku budak marwan sedang memegang surat gelap yang ditujukan kepada gubernur Mesir. Surat itu berisikan perintah untuk membunuh kelompok Muhammad bin Abu Bakar yang ditandatangani oleh Utsman. Mereka pun menjadi marah dan kembali lagi ke Madinah. Terjadilah demo besar-besaran yang tergabung dari aliansi kufah, bashrah dan Mesir. Mereka menuntut Utsman turun dari jabatannya. Di situlah akhirnya terungkap siapa sebenarnya yang menulis surat itu, yaitu Marwan bin Hakam. Mereka pun menuntut Ustman menyerahkan Marwan untuk diadili tapi Utsman menolaknya.

Lalu pertanyannya, kenapa Ustman mempertahankan Marwan? Teka-teki ini terjawab ketika Utsman telah terbunuh. Kala itu, Talhah berkata kepada Ali, “Andai saja Marwan diserahkan kepada para pendemo, niscaya mereka tidak akan membunuh Sayyidina Ustman. Ali-pun menjawab; “Andai Ustman menyerahkan Marwan kepada mereka, niscaya Marwan akan dibunuh sebelum adanya pembuktian dan keputusan hukumnya. Padahal dalam Islam, tidak diperbolehkan memberi sanksi orang yang belum terbukti membunuh”.( Siyar al-Khulafa’: 143)

Dalam kasus Marwan, ia memang menyuruh membunuh dengan surat gelap tersebut, namun ia tidak boleh di bunuh (Qishas) hanya karena surat tersebut selama pembunuhan itu tidak terlaksana. Utsman mengetahui hal itu, dan ia berani mati demi mempertahankan kebenaran. Betapa luhurnya kepribadian Khalifah Utsman.*/bersambung

Rep: Administrator
Red: Cholis AkbarPositive Thinking pada Para Sahabat Nabi

sumber : hidatullah.com

menlu as dan raja saudi bicarakan keseimbangan minyak dunia

Menlu AS dan Raja Saudi Bicarakan Keseimbangan Minyak Dunia

Menurut seorang pejabat AS, pada hari Jumat kemarin Menlu AS Hillary Clinton terlibat pembicaraan membahas peran Arab Saudi dalam menjaga kestabilan pasokan minyak dunia dengan Raja Saudi, Abdullah. Amerika Serikat dan Arab Saudi, eksportir minyak terbesar di dunia, telah bekerja sama sejak tahun 1940, meskipun mereka sempat terlibat perselisihan mengenai bagaimana mengatasi pemberontakan rakyat Arab yang membuat hubungan keduanya menjadi tegang.

Amerika Serikat dan negara-negara konsumen lainnya khawatir Arab Saudi mungkin akan mengurangi produksi minyak jika mereka melepaskan cadangan darurat yang mereka miliki. Ini dilakukan sebagai strategi mereka untuk menetralkan keadaan dan mendinginkan pasar energi dunia.

Pada Jumat kemarin Clinton bertemu dengan raja, Menteri Luar Negeri Saudi Pangeran Saud al-Faisal dan pejabat lain dari kerajaan Teluk di Riyadh, sehari sebelum menteri luar negeri dari Negara-negara Teluk bertemu dengan para pejabat AS untuk membahas keamanan regional.

"Mereka berbicara tentang penjagaan pasokan minyak global yang dimiliki oleh Arab Saudi. Serta peran penting Arab Saudi yang bermain dalam perdagangan minyak dunia," kata seorang pejabat senior Departemen Amerika Serikat kepada wartawan.

Para diplomat dan sumber-sumber industri mengatakan bahwa dalam pekan ini negara-negara Barat mungkin ingin Clinton untuk mencari jaminan bahwa Saudi tidak akan melemahkan upaya mereka untuk memotong biaya bahan bakar mereka.

Harga minyak telah meningkat tajam sejak awal tahun ini, pada satu titik puncaknya $ 128 per barel, terutama karena sanksi yang diperluas dikenakan pada eksportir minyak utama Iran bertujuan memperlambat sengketa program nuklirnya. "Kepentingan bersama kami dalam menjaga stabilitas di pasar minyak telah dibahas," ujar pejabat tersebut mengenai pembicaraan yang terjadi selama pertemuan antara Clinton dan pemimpin Saudi.

Pejabat itu mengatakan bahwa pembicaraan Clinton dengan para pejabat Saudi yang terjadi pada Jumat kemarin juga membahas diskusi tentang rencana untuk meningkatkan kemampuan pertahanan rudal di Teluk, reformasi dan peran perempuan di Arab Saudi, perundingan multilateral tentang program nuklir Iran, dan Suriah.


Redaktur: Hazliansyah
Reporter: Rachmita Virdani
Sumber: Reuters

sumber :republika.co.id

as saudi ribut soal pasokan senjata pemberontak suriah

AS-Saudi Ribut Soal Pasokan Senjata Pemberontak Suriah

Menyusul situasi yang kian memanas di Suriah, perwakilan dari sebagian besar negara-negara Barat dan sejumlah sekutu Arab mereka telah berkumpul di Istanbul, Turki, untuk menggelar pertemuan kedua "Friends of Syria" pada Ahad (1/4).

Mereka membicarakan isu-isu terkait internal di Suriah, termasuk pasokan senjata kepada oposisi Suriah. Keamanan di Istanbul diperketat demi lancarnya konferensi anti-Damaskus tersebut.

Barat sebagai motor pertemuan itu mengklaim bahwa pertemuan tersebut bertujuan untuk menyatukan oposisi Suriah. Rupanya, dua peserta kunci, Amerika Serikat dan Arab Saudi, berbeda pendapat terkait pemasokan senjata kepada oposisi Suriah.

Riyadh ingin senjata-senjata dikirim ke kelompok oposisi di Suriah. Menteri Luar Negeri Arab Saudi Saud al-Faisal menilai mempersenjatai pemberontak Suriah sebagai ide yang bagus.

Sedangkan Washington khawatir senjata-senjata itu akan jatuh ke tangan yang salah. Rusia dan Cina serta Irak, telah memboikot pertemuan di Istanbul.

Pada Selasa, juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia Alexander Lukashevich kepada wartawan di Moskow mengatakan bahwa konferensi di Istanbul tidak ingin mencari solusi terhadap krisis di Suriah, tetapi ingin mempersiapkan panggung baru untuk melakukan intervensi.

sumber : republika.co.id