Saturday, June 30, 2012

mengamalkan ajaran thariqah

Mengamalkan Ajaran Thariqah

THORIQOH atau tarekat berarti “jalan”. Sahabat Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah pernah bertanya kepada Rasulullah SAW: “Wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepadaku jalan (thariqoh) terdekat kepada Allah yang paling mudah bagi hamba-hambanya dan yang paling utama bagi Allah!” Rasulullah SAW bersabda: “Kiamat tidak akan terjadi ketika di muka bumi masih terdapat orang yang mengucapkan lafadz “Allah”.” (dalam kitab Al-Ma’arif Al-Muhammadiyah).

Para ulama menjelaskan arti kata thariqah dalam kalimat aktif, yakni melaksanakan kewajiban dan kesunatan atau keutamaan, meninggalkan larangan, menghindari perbuatan mubah (yang diperbolehkan) namun tidak bermanfaat, sangat berhati-hati dalam menjaga diri dari hal-hal yang tidak disenangi Allah dan yang meragukan (syubhat), sebagaimana orang-orang yang mengasingkan diri dari persoalan dunia dengan memperbanyak ibadah sunat pada malam hari, berpuasa sunat, dan tidak mengucapkan kata-kata yang tidak beguna. [dalam kitab Muroqil Ubudiyah fi Syarhi Bidayatil Hidayah Imam Ghazali]

Thariqoh yang dimaksud dalam pembicaraan ini lebih mengacu kepada peristilahan umum yang berlaku dikalangan umat Islam di seluruh dunia, khususnya warga NU, yakni semacam aliran dalam tasawuf (berbeda dengan mistik atau klenik) yang mengharuskan para pengikutnya menjalankan amalan peribadatan tertentu secara rutin –biasanya berupa bacaan atau wiridan khusus-- yang dipandu oleh seorang guru atau mursyid. Hadits yang disebutkan di atas sekaligus menjadi dalil naqli diperbolekannya ajaran-ajaran thoriqoh.

Para murid yang mengikuti aliran thoriqoh tertentu sedianya berniat belajar membersihkan hati dengan bantuan guru atau mursyid mereka dengan cara menjalankan amalan-amalan dan doa-doa khusus. Jika mereka masih awam dalam masalah keagaman dasar seperti masalah wudlu, sholat, puasa, nikah dan waris, maka mereka sekaligus belajar itu kepada sang mursyid. Para murid berbai’at atau mengucapkan janji setia untuk menjalankan amalan-amalan thariqoh yang dibimbing oleh sang mursyid. Bai’at thariqoh adalah berjanji dzikrullah dalam bacaan dan jumlah tertentu kepada guru dan berjanji mengamalkan ajaran islam dan meninggalkan larangannya. Sebagaimana bermadzab atau mengikuti imam tertentu dalam bidang fikih, para murid tidak diperkenankan berpindah thoriqoh kecuali dengan pertimbangan yang jelas dan mampu melaksanakan semua amalan thoriqohnya yang baru.

Sementara itu sang mursyid wajib menyayangi, membimbing, dan membantu membersihkan hati murid-muridnya dari kotoran dunia. Mursyid harus memiliki sifat kasih sayang yang tinggi terhadap kaum muslimin, khususnya terhadap murid-muridnya. Ketika ia mengetahui mereka belum mampu melawan hawa nafsu mereka dan belum mampu meninggalkan kejelekan, misalnya, maka ia harus bersikap toleran. Setelah ia menasihati mereka dan tidak memutus mereka dari thoriqah, juga tidak mengklaim mereka celaka, melainkan senantiasa menyayangi mereka sampai mereka mendapatkan hidayah.

Demikian syarat seorang mursyid yang disebutkan dalam kitab Tanwirul Qulub. Mursyid harus arif dalam hal kesempurnaan hati, adab-adabnya, dan bersih dari penyakit-penyakit hati. Mursyid juga harus memiliki ilmu yang dibutuhkan oleh murid-murdnya, yaitu fikih dan aqa’id tauhid dalam batas-batas yang bisa menghilangkan kemusyrikan dan ketidakjelasan yang dihadapi oleh mereka di tingkat awal, sehingga mereka tidak perlu bertanya kepada orang lain.

Ada beberapa thoriqoh yang berkembang di Indonesia. Yang paling banyak pengikutnya, antara lain, Qodiriyah, Naqsabandiyah, Qodiriyah wan Naqsbandiyah, Syadziliyah. Dalam Muktamanya ke-26 di Semarang pada bulan Rajab 1399 H bertepatan dengan bulan Juni 1979 Nahdlatul Ulama meresmikan berdirinya Jam’iyyah Ahlit Thariqoh Al-Mu’tabaroh An-Nahdliyah dan dikukuhkan dengan suat keputusan PB Syuriah NU Nomor: 137/Syur.PB/V/1980). Jam’iyyah ini beranggotakan beberapa thariqot di Indonesia yang mu’tabaroh dan nahdliyah.

Mu’tabaroh artinya thariqoh yang dimaksud bersambung ajarannya kepada Rasulullah SAW. Sementara Rasulullah menerima ajaran dari malaikat Jibril dan Malaikat Jibril dari Allah SWT. Nahdliyah maksudnya adalah bahwa para penganutnya selalu bergerak untuk melaksanakan ibadah dan dzikir kepada Allah SWT yang syariatnya menurut ahlussunnah wal jama’ah ‘ala madzahibil arba’ah (sesuai dengan yang diajarkan oleh Rasulullah SAW dan para Sabahat Beliau dan disejalaskan oleh imam Madzab empat yakni Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali).

Jam’iyyah Ahlit Thariqoh Al-Mu’tabaroh An-Nahdliyah sering mengadakan perkumpulan untuk membahas persolan-persoalan keagamaan, khususnya berkaitan dengan thoriqoh. Jam’iyyah ini juga berfungsi untuk saling memberikan masukan dan sekaligus membedakan diri dengan aliran-aliran kebatinan yang tidak muk’tabar dan tidak berdasar pada ajaran Rasulullah SAW.

Para pengamal thoriqoh senantiasa menjauhkan diri dari kehidupan duniawi yang fana; membersihkan hati; mendekatkan diri kepada Allah SWT. Sang mursyid dan murid-muridnya tidak diperkenankan menggandrungi harta benda. Juga kekuasaan. Ada satu hadits Rasulullah SAW yang menjadi pegangan para pengamal thariqoh. Ibn Majah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Di antara qari’ atau orang yang hafal Al-Qur’an dan memahami maknanya yang paling dibenci oleh Allah adalah qari’ yang mengunjungi umara (penguasa).”

Begitu bencinya mereka dengan ususan duniawi. Para pengkritik mengatakan bahwa thariqoh adalah sumber kemunduran umat Islam. Namun dengan penuh kebijaksanaan para pengamal thoriqoh menjawab bahwa para pengkritik belum merasakan betapa nikmatnya berdzikir dan mendekatkan diri kepada Allah Sang pencipta. (A. Khoirul Anam)


*Tulisan ini bersandar pada buku “Permaslahan Thariqah: Hasil Kesepakatan Muktamar dan Muasyawarah Besar Jam’iyyah Ahlith Thariqah al-Mu’tabarah Nahdatul Ulama (1957-2005)” yang dihimpun oleh KH. A. Aziz Masyhuri.

sumber :nu.or.id

Baca Juga
artikel-artikel ubudiyah

kontroversi lebaran hari senin

Kontroversi Lebaran Hari Senin
Oleh KH. Maimun Zubair

Baru-baru ini, umat Islam Indonesia berbeda pendapat mengenai hari raya idul fitri 1427 H sebagaimana yang pernah terjadi berulangkali pada tahun-tahun sebelumnya. Sebagian dari mereka  melaksanakan ‘id pada hari Senin, dan sebagian lagi  pada hari Selasa. Sebagian Ormas menetapkan ‘id jatuh pada hari Senin; dengan demikian puasanya adalah 29 hari karena berpedoman pada anggapan mereka yang salah bahwa hilal telah wujud pada malam Senin atas dasar ketentuan hisab mereka, meskipun melihat hilal tidak mungkin dilakukan.

Sebagian kelompok juga berlebaran pada hari Senin karena berangapan bahwa pada malam Senin hilal dapat dilihat. Mereka pun menyebarkan ikhbar ke beberapa daerah dan propinsi dengan menggunakan peralatan modern. Mereka juga menjelaskan—menurut anggapan mereka—kebenaran hujjah yang mereka gunakan dan menyerukan kepada umat agar mengikuti mereka dalam menentukan hari ’idul fitri. Lebih dari itu, mereka merasa benar walaupun ru’yah-nya tidak diterima oleh Departemen Agama. Meskipun demikian, mayoritas kaum muslimin menyempurnakan puasanya genap 30 hari dan melaksanakan ‘id pada hari Selasa karena mengikuti keputusan Departemen Agama yang menolak kesaksian orang yang mengaku telah melihat hilal dan karena berpegang pada ketentuan hisab qat’i yang sudah disepakati oleh para ahlinya perihal tidak adanya kemungkinan ru’yah pada malam Senin.

Dengan kejadian seperti  ini, timbullah kegaduhan di antara kaum muslimin yang dipicu oleh suara-suara takbir yang menggunakan pengeras suara di masjid-masjid dan di jalan-jalan karena mengikuti dorongan hawa nafsu.

Berkaitan dengan hal-hal di atas, saya ingin memaparkan penjelasan-penjelasan para imam kita mengenai persoalan tersebut agar dapat menjadi pegangan bagi diri saya sendiri dan bagi kita semua. Hal ini karena tulisan harus dipertanggungjawabkan; ia adalah perbuatan orang mukallaf, dan karena itu harus ada penilaian dari kita terhadap hukum-hukum syara’. Hukum adalah khitab Allah yang terkait dengan perbuatan orang-orang mukallaf.  Oleh karena itu, janganlah engkau mengira bisa bebas berbuat apa saja. Tidak ada sesuatu yang bisa lepas dari tangung jawab.  Demikian halnya dengan ikhbar (pemberitaan). Tidak ada penulis yang tidak diuji dan diminta pertangungjawabannya atas apa yang ditulis oleh tangannya. Oleh karena itu, janganlah engkau menulis sesuatu dengan telapak tanganmu selain apa yang bisa membuatmu senang melihatnya pada hari kiamat. Tulisan berikut saya bagi menjadi beberapa  fasal sesuai dengan maksud penjelasan-penjelasan ulama yang ada. Kepada Allah saya bersandar, dan kepada-Nya saya memohon taufiq.
  
Kesalahan Melaksanakan Hari Raya pada Hari Senin

Ketahuilah bahwa orang yang berbuka pada hari Senin, baik berpegang kepada kesimpulan hisab dengan wujudnya hilal pada malam Senin atau kepada pengakuan sejumlah orang yang melihat hilal, tidaklah mempunyai dalil yang kuat, bahkan tidak mempunyai hujjah syar’iyyah yang bisa dijadikan pegangan. Mereka salah dan tersesat karena tidak merujuk pada pendapat para imam dan salafush shalih yang senantiasa berpegang teguh pada Al-Quran dan Sunnah; dalam hal ini kesalahan mereka bisa dilihat dari beberapa hal berikut:

Pertama, sikap mereka yang menentang terhadap waliyyul amri; dalam hal ini adalah Departemen Agama  dengan  keputusannya yang menyatakan bahwa 1 Syawal jatuh pada hari Selasa atas dasar penyempurnaan Ramadhan menjadi 30 hari. Keputusan ini didasarkan atas tiadanya ru’yah yang dapat dipertanggungjawabkan secara syar’i pada malam Senin dan tiadanya kemungkinan ru’yah pada malam tersebut atas dasar hisab yang qat’i. Sebagaimana dimaklumi, menetapkan awal bulan merupakan hak qadhi (hakim) atau menteri agama. Oleh karena itu, tidak ada hak bagi seseorang atau lembaga untuk menetapkan awal bulan, meskipun mereka melakukannya atas nama ikhbar, dan seseorang tidak boleh menentang ketentuan tersebut karena dapat menimbulkan fitnah dan perpecahan di antara kaum muslimin dalam urusan agama. Ketentuan ini didasarkan atas beberapa ayat Al-Quran, Hadis, dan pendapat ulama dulu sebagai berikut:

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan rasul-Nya, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (An-Nisa`: 59)

Dalam tafsirnya mengenai ayat tersebut, Al-Qurtubi mengatakan: “Jika pada ayat-ayat sebelumnya sasarannya adalah penguasa, dan Allah memulai dengan mereka, kemudian Allah memerintahkan kepada mereka untuk melaksanakan amanat dan memutuskan hukum di antara manusia dengan adil, maka  pada ayat ini yang dijadikan sasaran adalah rakyat dengan rincian sebagai berikut: pertama, Allah memerintahkan kepada umat manusia untuk taat kepada Allah; dalam hal ini dengan  menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya; kedua, Allah memerintahkan kepada umat manusia untuk taat kepada Rasul-Nya berkenaan dengan perintah dan larangannya; dan ketiga, perintah untuk taat kepada para pemimpin menurut pendapat para sahabat besar, seperti Abu Hurairah, Ibnu ‘Abbas, dan lain-lainnya.

Sahal bin Abdullah at-Tastari mengatakan: Taatlah kamu kepada penguasa dalam tujuh hal: mata uang yang sah, takaran, timbangan, hukum, haji, shalat jum’at, dua hari raya, dan jihad” (Tafsir Al-Qurtubi, Juz V, hlm. 249). Di sini, yang dimaksud dengan ulul amri adalah para imam, sultan (penguasa), hakim, dan setiap orang yang mempunyai kekuasaan syar’i, bukan kekuasaan tiranik. Adapun pengertian yang dimaksud adalah taat kepada mereka (ulul amri) dalam segenap perintah dan larangannya sepanjang tidak maksiat kepada Allah (Fathul Qadir, Juz I, hlm. 726). Beliau pun mengatakan: “Manusia senantiasa dalam kebaikan selama mereka menghormati penguasa dan ulama. Jika mereka menghormati keduanya, maka Allah akan memperbaiki urusan dunia dan akhiratnya. Dan jika mereka melecehkan keduanya, maka Allah akan merusak urusan dunia dan akhiratnya.” (Tafsir Al-Qurtubi, Juz V, hlm. 249).

Terdapat banyak dalil-dalil yang shahih yang mencapai tingkat mutawatir dan yang secara pasti berasal dari Rasulullah SAW dengan kepastian yang tidak dapat diragukan lagi bagi orang yang berpegang teguh kepada Sunnah yang suci mengenai kewajiban taat kepada para imam, penguasa, dan pemimpin, sampai-sampai di beberapa radaksi Hadis yang shahih terdapat pernyataan: taatlah kamu kepada penguasa meskipun ia adalah budak negro yang rambut kepalanya gimbal. Kewajiban taat kepada mereka itu sepanjang mereka melaksanakan shalat dan tidak tampak pada mereka kekufuran yang nyata, dan sepanjang mereka tidak memerintahkan maksiat kepada Allah.

Jelasnya, meskipun mereka sangat lalim dan melakukan jenis kelaliman yang sangat berat, namun kelalimannya tersebut tidak sampai menyebabkan kekufuran yang nyata, maka ketaatan kepada mereka tetap merupakan suatu kewajiban sepanjang perintahnya bukan suatu maksiat kepada Alah. Termasuk dari perintah ulul amri yang harus ditaati adalah perintah melaksanakan berbagai pekerjaan dan memasuki pos-pos keagamaan yang tidak termasuk maksiat kepada Allah, seperti jihad, membela hak-hak rakyat, memutuskan hukum terhadap pihak-pihak yang bertikai, menegakkan ketentuan-ketentuan hukum terhadap siapa saja.

Secara garis besar, ketaatan kepada ulul amri adalah suatu kewajiban bagi setiap orang yang berada dalam wilayah kekuasaannya sepanjang bukan maksiat kepada Allah. Oleh karena itu, interaksi atau sejenisnya dengan ulul amri berkenaaan dengan hal-hal seperti di atas memang merupakan suatu keharusan. Maka ketatan kepada mereka dengan ketentutan-ketentuan yang sudah saya paparkan tidak dapat dihindari. Hal ini karena kuatnya dalil-dalil yang menjelaskan perintah tersebut. Dalam Al-Quran dinyatakan, Taatilah Allah, dan taatilah Rasul dan ulil amri di antara kamu. Selain itu, juga ada dalil yang menyatakan, ”Mereka (ulul amri) menerima ketaatan yang menjadi haknya, meskipun mereka sendiri tidak melaksanakan kewajiban untuk rakyat sebagimana dijelaskan dalam beberapa Hadis Nabi, “Beri mereka (ulul amri) apa yang menjadi haknya dan mintalah kepada Allah apa yang menjadi hakmu.” Bahkan, terdapat perintah untuk taat kepada penguasa dan Nabi SAW pun menekankan hal tersebut sampai-sampai beliau menyatakan, “Meskipun ia mengambil hakmu dan memukul punggungmu.” (Tafsir Al-Qurtubi Juz II, hlm. 765).

Adapun firman Allah, Jika kamu berlainan pendapat mengenai sesuatu,  maka kembalikan ia kepada Allah dan Rasul-Nya, Imam Mujahid dan beberapa ulama salaf mengatakan: yakni kembali kepada Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya; dan hal ini adalah perintah Allah bahwa segala sesuatu mengenai sendi-sendi agama dan cabang-cabangnya yang diperselisihkan oleh manusia harus dikembalikan kepada Al-Quran dan Sunnah Rasulullah, sebagaimana firman Allah, Apa saja yang kamu perselisihkan, maka keputusannya terserah kepada Allah (Asy-Syura: 10).  Apa yang diputuskan oleh Al-Quran dan Sunnah, dan kebenarannya diperkuat oleh keduanya, maka ia adalah benar. Menyimpang dari itu hanyalah kesesatan.

Oleh karena itu, selanjutnya Allah berfirman, Jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Artinya, kembalikan perselisihan dan ketidaktahuan kepada Kitab Allah Sunnah rasul-Nya; berhukumlah kamu dengan keduanya atas apa yang terjadi di antara kamu. Jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir}. Dengan ayat ini Allah menunjukkan bahwa siapa saja yang tidak berhukum dalam hal-hal yang menjadi bahan perselisihan dengan Al-Quran dan Sunnah dan tidak merujuk kepada keduanya, maka berarti ia tidak beriman kepada Allah dan hari akhir (Tafsir Al-Qurtubi Juz I, hlm. 687).   

Al-Qurtubi juga mengatakan, ”Ali bin Muslim At-Tusi menceritakan kepadaku, ia mengatakan: Ibnu Abi Fadik menceritakan kepadaku, ia mengatakan: Abdullah bin Muhammad bin Urwah menceritakan kepadaku berdasarkan riwayat dari Hisyam bin Urwah dari Abu Shaleh as-Saman dari Abu Hurairah: bahwasanya Nabi saw. besabda: Akan memimpin kamu sesudahku beberapa penguasa; orang yang baik akan memimpin kamu dengan kebaikannnya dan orang yang durjana dengan kedurjanaannya. Maka, dengarkan dan taatilah mereka di mana saja berada selama sesuai dengan kebenaran. Shalatlah kamu di belakang mereka. Jika mereka berbuat kebaikan, maka [kebaikan] adalah bagimu dan bagi mereka. Dan jika mereka berbuat keburukan, maka [kebaikan] adalah tetap bagimu, sementara [keburukan] tersebut  atas mereka. (Tafsir Al-Qurtubi Juz III, hlm 149).

Teks-teks yang saya kutip di atas mengajarkan kepada kita bahwa secara syar’i tidak ada sisi yang shahih bagi mereka (pendudukung 1 Syawal jatuh pada hari Senin) karena menetang terhadap keputusan Departemen Agama mengenai penetapan awal bulan Syawal, meskipun mereka mengklaim dan beragumentasi sedemikian rupa. Bahkan, sikap mereka itu dapat menimbulkan fitnah di antara sesama umat Islam dan dapat menjerumuskannya dalam suasana saling curiga. Dalam hal ini Departeman Agama sudah benar dan tepat ketika menolak kesaksian satu atau dua orang lebih yang mengaku telah melihat hilal pada malam Senin karena Departemen Agama telah berpegang kepada hujjah syar’iyyah yang dapat dipertanggungjawabkan.

Di samping itu, Departemen Agama juga telah bermusyawarah dengan lembaga hisab dan ru’yah mengenai penentuan 1 Syawal dan mereka pun telah sepakat bahwa hilal tidak mungkin dapat dilihat pada malam Senin. Sejatinya, syarat sesuatu yang dapat dilihat adalah adanya kemungkinan melihatnya secara akal, adat, dan syara’, sebagaimana yang akan saya jelaskan berdasarkan keterangan para imam. Berkaitan dengan ini, jika saja orang yang melaksanakan ‘id pada hari Senin itu merujuk kepada Al-Quran, Sunnah Rasulullah, dan pendapat para ulama, niscaya mereka tidak akan berani menentang. Akan tetapi, arogansi dan dorongan hawa nafsu, atau bahkan ketidaktahuan mereka mengenai fikih Islam, telah mempengaruhi mereka sehingga mereka berani menentang.     

Kedua, mereka bertentangan dengan ketentuan hisab yang qat’i mengenai tiadanya kemungkinan melihat hilal pada malam Senin. Dalam menetapkan awal bulan, yang dijadikan pedoman hanyalah dengan jalan melihat hilal, baik menurut ahli falak dan orang-orang yang membenarkannya atau para ahli lainnya, sebagaimana yang dikuti oleh mayoritas kaum muslimin. Menurut ahli falak, yang dikehendaki dengan istilah “melihat hilal” hanyalah kamampuan melihat hilal atas dasar ketingian hilal di atas ufuq, sebagaimana yang sudah maklum bagi mereka. Ahli falak mengatakan bahwa hilal di atas ufuq memungkinkan untuk dilihat jika ketingiannya lebih dari satu derajat.

Dalam konteks ini, hilal pada malam Senin berada di bawah satu derajat atau kurang; dengan demikian jelaslah bahwa orang yang melaksanakan ‘id pada hari Senin—karena berpedoman bahwa wujud hilal pada malam tersebut, sekalipun tidak memungkinkan untuk dilihat, cukup untuk dijadikan sebagai dasar menetapkan bulan Syawal—sungguh jauh dari kebenaran dan bertentangan dengan Sunnah; hal ini karena syari’at mengaitkan hukum puasa dan lebaran dengan ru’yah atau kemungkinan ru’yah, bukan dengan wujud hilal belaka, seperti yang mereka pakai.

Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah kamu berpuasa sampai kamu melihat hilal, dan janganlah kamu berbuka sampai kamu melihatnya.”  Jika kenyataannya seperti ini, maka kesaksian seseorang yang mengaku telah melihat hilal pada malam Senin tersebut harus ditolak. Selain itu, argumentasi mereka  dalam melaksanakan ‘id pada hari Senin  yang didasarkan atas ru’yah seperti itu dengan sendirinya adalah batal dan tidak bersandar kepada dalil-dalil yang dapat dipertanggungjawabkan. Bahkan, jika qadhi (hakim) menetapkan hukum dengan kesaksian seperti itu, maka ketetapan hukumnya tersebut juga batal. Apa yang telah saya uraikan tersebut juga didukung oleh penjelasan ulama yang membuktikan bahwa sebenarnya mereka dalam urusan agama tidak merujuk kepada pendapat ulama dulu dan imam-imam ahli ijtihad.

Dikutip dari Maqalah fi Mauqifina haulas Shaum wal Ifthar ‘Am 1427 H yang ditulis oleh KH Maimun Zubair, Sarang, pada hari Rabu 2 Syawal 1427 H/ 25 Oktober 2006.(M Adib/LTN-NU)

sumber : nu.or.id