Monday, April 2, 2012

aqidah syab'iyya dan sejarah benih persatuan umat (2)

Aqidah Syaba’iyya dan Sejarah Benih Perpecahan Umat (2)
Oleh: Arham

/Tulisan PERTAMA/

Solidaritas para Sahabat

ADA satu poin penting yang perlu diperhatikan, yakni dalam sejarah tidak kita temui para sahabat saling berpecah belah satu sama lain yang menyebabkan permusuhan. Yang terjadi diantara mereka hanyalah perbedaan pendapat yang kadang kala diselesaikan dengan ijma' (kesepakatan), atau salah satu pihak tunduk kepada pendapat jama'ah serta tetap komitmen terhadap imam. Itulah yang terjadi dikalangan sahabat. Tidak ada seorang sahabat-pun yang memisahkan diri dari jama'ah. Tidak ada satupun diantara mereka yang melontarkan ucapan bid'ah atau mengada-ada perkara baru dalam Agama.

Pada zaman Khalifah Abu Bakkar, ketika ada pembangkangan di sebagian daerah Semenanjung dalam hal pembayaran zakat, Abu Bakkar dan sebagian kecil sahabat berpendapat untuk memerangi mereka. Maka di adakanlah rapat dalam rangkah membahas masalah ini, banyak sahabat yang tidak setuju kalau terjadi perang, dengan alasan mereka tidak boleh di perangi karena mereka juga adalah orang-orang yang beriman, Umar termasuk salah satu dalam barisan ini.

Walaupun akhirnya keputusan jatuh pada suara minoritas yang di pelopori Abu Bakkar dengan berkata “demi Allah, orang yang keberatan menunaikan zakat kepadaku, yang dulu mereka lakukan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallah akan aku perangi” maka terjadilah perang Riddah.

Perdebatan ketika itu cukup sengit yang saling berlawanan dan berkepanjangan. Jangan dikira para sahabat hanya manggut-manggut ketika di hadapan pimpinan mereka, Umari bin Khattan membantah pendapat itu dengan keras sampai-sampai mukanya memerah, tapi itulah sahabat, jiwa mereka sudah terdidik dan selalu menghindari perselisihan. Dengan kondisi yang memanas seperti itu mereka tetap menghargai Abu Bakkar sebagai pemegang tunggal pemerintahan saat itu.

Para sahabat merupakan imam dalam Agama yang mesti diteladani oleh kaum Muslimin. Tidak satupun dari kalangan sahabat yang memecah dari jama'ah. Dan tak satupun ucapan mereka yang menjadi sumber bid'ah dan sumber perpecahan. Adapun beberapa ucapan dan kelompok sempalan yang dinisbatkan oleh sejumlah oknum kepada para sahabat adalah tidak benar. Hanyalah dusta dan kebohongan besar yang mereka tujukan terhadap para sahabat.

Sangat keliru bila Ali bin Abi Thalib disebut sebagai sumber Syi'ah, Abu Dzar Al-Ghifari sebagai sumber sosialisme, para sahabat Ahlus Suffah sebagai cikal bakal kaum sufi, Mua'wiyah diklaim sebagai sumber Jabariyah, Abu Darda' dituduh sebagai sumber Qadariyah, atau sahabat lain menjadi sumber pemikiran sesat ini dan itu, mengada-adakan bid'ah dan perkara baru, atau punya pendirian yang menyempal.

Pada masa kekhalifahan Utsman, belum terjadi perpecahan yang serius. Namun ketika meletus fitnah di antara kaum muslimin pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, barulah muncul kelompok Khawarij dan Syi'ah.

Sementara pada masa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar bin Khattab, bahkan pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan, belum terjadi sama sekali perpecahan yang sebenarnya. Selanjutnya, para sahabat justru melakukan penentangan terhadap perpecahan yang timbul.

Jangan dikira para sahabat mengabaikan atau tidak tahu menahu tentang fenomena negatif ini. Dan jangan pula disangka mereka kurang tanggap terhadap masalah perpecahan ini, baik seputar masalah pemikiran, keyakinan, pendirian maupun perbuatan. Bahkan mereka tampil terdepan menentang perpecahan dengan gigih. Mereka telah teruji dengan baik dalam sepak terjang menghadapi perpecahan tersebut dengan segala tekad dan kekuatan.*

Penulis seorang guru dan penikmat sejarah Islam

Red: Cholis Akbar

sumber : hidayatullah.com

No comments: