Monday, April 2, 2012

positive thinking pada para sahabat nabi (2)

Positive Thinking pada Para Sahabat Nabi (2)
Oleh: A. Wafi Muhaimin

/Tulisan Sebelumnya/

Penyelewengan Sejarah

Menurut Imam Nawawi, perpecahan dan pertikaian yang terjadi pada masa khalifah Ustman dan khalifah Ali adalah terletak pada perbedaan ijtihad umat Islam. Gerak Ijtihad itu menyebabkan umat Islam terpecah menjadi tiga golongan. Golongan Pertama, beranggapan bahwa ada golongan yang benar dan harus ditolong sedang yang menentang golongan ini harus diperangi. Golongan kedua, beranggapan sebaliknya. Yang benar ada di pihak yang dianggap golongan pertama salah sehingga harus di tolong dan golongan pertama harus diperangi. Dan golongan ketiga, mereka yang masih bingung, tidak bisa membedakan mana yang benar antara yang di dukung golongan pertama maupun golongan yang kedua. golongan ini lebih memilih keluar.(al-Nawawi dalam “Syarh Shahih Muslim”, juz 15/1).

Dalam buku “Tahqiq Mawaqif al-Sahabah fi al-Fitnah” dinyatakan bahwa tujuan Talhah, Zubair, Aisyah dan Muawiyah ketika men-demo khalifah Ali tiada lain hanyalah untuk menuntut agar sanksi (Qishas) terhadap pembunuh Ustman disegerakan.( dalam Minhaj al-Sunnah li Ibn Taimiyyah, 2/219-220). Mereka menganggap bahwa Ali tidak tegas.

Sebaliknya, Ali berada pada posisi dilematis antara menyegerakan atau menunda. Ia pun memilih menunda untuk menjaga stabilitas Negara yang masih kacau. Hal ini sangat beralasan karena pelaku pembunuhan Utsman dapat dipastikan adalah kelompok dari para pendemo, yang jika disegerakan akan menimbulkan konflik berkepanjangan di dalam internal kepemimpinannya.

Pada akhirnya, perang saudarapun tak dapat dihindari antara kubu Ali dengan kubu Ummul Mu’miniin, Aisyah, yang dikenal dengan perang Jamal, dan perang Shiffin antara kubu Ali dan dan kubu Muawiyah.

Pasca perang Shiffin terjadilah apa yang dikenal dengan Tahkim (arbitrase) untuk mendamaikan kedua belah pihak (pihak Ali dan pihak Mu’awiyah), yang dalam hal ini kubu Ali merasa dirugikan. Maka sejarah pertikaian umat Islam pun semakin kelam. Umat Islam semakin terpecah-belah. Semangat fanatisme meraja-lela hingga pada akhirnya bermunculan hadist-hadist palsu untuk mendukung kelompoknya masing-masing.

Mu’awiyah pun diserang habis-habisan. Pada masa kepemimpinannya, ia dianggap telah menyuruh rakyatnya untuk mencaci maki Ali. Umat Islam disodori dengan kisah-kisah yang penuh hasutan bahwa yang meracuni Hasan bin Ali, cucu Rasulullah, adalah Mu’awiyah atau putranya, Yazid bin Mu’awiyah.

Bahkan bukan hanya itu, Yazid bin Mua’wiyah dianggap aktor dibalik pembataian berdarah di padang karbala yang menyebabkan cucu Nabi, Husein bin Ali terbunuh dengan cara yang sangat keji, dan lain sebagainya. Tuduhan ini sama sekali tidak berdasar, dan banyak ulama yang membantahnya seperti Ibn al-‘Arabi, Ibn Taimiyyah, al-Dzahabi, Ibn Katsir, Ibn Khaldun dan lain sebagainya. (dalam al-Daulah al-Umawiyyah: Tarikh wa Hadharah)

Bagaimana seharusnya kita bersikap?

Ulama salafuna-shaleh mengajarkan kita dengan penuh kearifan, bagaimana seharusnya kita menyikapi sejarah kelam (fitnah kubra) pertikaian para sahabat?

Ada adegium “al-Sukutu ‘Amma Syajara baina Ashab Rasulillah Shallahu 'Alaihi Wassalam.” yang menjadi pegangan Ahlus-Sunnah wal-Jamaah, yaitu apa yang terjadi di antara sahabat hendaknya kita diam, tidak boleh ikut mencaci-maki dan tidak boleh ber-negative thinking kepada para sahabat. (baca “Ma’arij al-Qabul syarh sullam al-Ushul Ila ‘ilm al-Ushul fi ‘ilm Tawhid”)

Dalam kasus pertikaian antara Khalifah Ali dan Mu’awiyah, ahlus-Sunnah beranggapan bahwa dua golongan tersebut sama-sama dibenarkan (demikian juga dengan kasus perang Jamal). Mereka adalah orang-orang yang ikhlas dalam memperjuangkan Islam.

Perbedaan mereka terletak pada perbedaan ijtihad. Dan dalam keikhlasan dalam ijtihad mereka, mereka akan diganjar (mendapatkan pahala), baik yang benar ijtihad-nya maupun yang salah. Dan pahala ijtihad yang benar lebih besar dari pada pahala yang Ijtihad yang salah.

Tulisan ini akan penulis tutup dengan falsafah fikihnya Syaikh Yusuf Qardawi dalam bukunya “Syaikh al-Gazali kama ‘araftu” bahwa “Air yang sudah mencapai dua kullah, tidak akan kotor hanya karena kemasukan najis (yang sedikit)”. Dalam artian, sahabat memang bukan manusia ma’sum yang terbebas dari kesalahan, namun sangat tidak bijak jika karena kesalahan yang sedikit itu akan menghapus kebaikan-kebaikan yang luasnya laksana lautan.

Apa yang terjadi di antara mereka jadikan sebagai pelajaran, karena di dalam tragedi itu ada hikmah dan rahasia yang luar biasa. Dan hendaknya kebaikan-kebaikan para sahabat menjadi uswah bagi kita untuk diteladani. Wallahu ‘alam.*

Penulis adalah Mahasiswa program Ushul Fiqh di International Islamic University Malaysia (IIUM) dan peneliti ISFI (Islamic Studies Forum For Indonesia)

Red: Cholis Akbar

sumber : hidayatullah.com

No comments: