Thursday, May 17, 2012

persoalan hisab dan rukyat

Kami dari Lajnah Falakiyah Majlis Taklim Muroqobatillah, Desa Cikalong Sari, Kecamatan Jatisari, Kabupaten Karawang-Jawa Barat, ingin mempertanyakan tentang hal yang berhubungan dengan penentuan Hari Raya Idul Fithri, bahwasanya di dalam almanak NU, tercatat waktu ijtima’ menjelang Hari Raya Idul Fithri, jatuh pada hari Ahad, 22 Oktober 2006 jam 12:07:30 WIB, sedangkan waktu Ghurub, ketinggian hilal 00 54’, sehingga Hari Raya jatuh pada Hari Selasa 24 Oktober 2006, hal ini yang akan kami pertanyakan, mengenai ketinggian hilal yang tidak sesuai dengan keterangan kitab Sullam al Nayyirain karangan Muhammad Manshur bin Abdul Hamid, Jakarta.

Menurut kitab tersebut peredaran bulan pada tiap-tiap satu jam, sama dengan 30 daqiqoh atau 1/20, sehingga apabila ijtima’ jam 12:07:30 WIB, maka sampai ghurub 6 jam x 1/20 = 30. Artinya hilal pasti bisa di-rukyah pada hari Ahad sore, dan hari Raya Idul Fithri jatuh pada hari Senin 23 Oktober 2006, kenapa almanak NU tercatat ketinggian hilal 00 54’, dan Hari Raya Idul Fithri jatuh pada hari Selasa 24 Oktober 2006, hal ini yang sangat tidak bisa dimengerti dan tidak mendasar.

Untuk bahan pertimbangannya, kami lampirkan Hisab Taqwim Hilali Syar’i, yang menjadi argumen kami.

Demikian hal ini kami sampaikan, selanjutnya besar harapan kami untuk bisa ditanggapi dan dijelaskan, mengingat pentingnya hukum yang mengatur tentang ibadah puasa, karena menyangkut kemaslahatan umat Islam, dan pasti akan diminta pertanggungjawabannya di Yaumil Jaza’.

(Pimpinan Lajnah Falakiyah Majlis Ta’lim Muroqobatillah Liahlisilsilah Qodiriyah Wa Naqsyabandiyah, KH A Mahmud Amin)

Jawab:
Menjawab pertanyaan surat Tim Lajnah Falakiyah yang Bapak pimpin, perlu kami jelaskan sebagai berikut:

1. Dalam mengambil sikap mengenai kepastian awal bulan Qamariyah, khususnya awal Ramadan, awal Syawal, dan awal Dzulhijjah, NU mendasarkan pada rukyah, bukan pada hisab; sesuai dengan nash dan aqwalul ‘ulama’ yang dipegangi. Hal ini tercermin pada setiap penerbitan ikhbar mengenai hasil rukyatul hilal bil fi’li dan tercermin pula pada catatan kaki hisab almanak NU yang intinya penentuan awal bulan Qamariyah, khususnya awal Ramadan, awal Syawal, dan awal Dzulhijjah, menunggu hasil rukyatul hilal bil fi’li. Rukyah sebagai kata penentu, sedang hisab berfungsi sebagai pendukung dalam menyelenggarakan rukyatul hilal bil fi’li. Prinsip NU ini dikenal dengan asas ta’abbudiy atau asas taqdiimut ta’abbud ‘alat-ta’aqqul atau asas ikmaalut-ta’abbud bit-ta’aqqul.

2. Hisab almanak NU tidak mengacu pada metode Sullam al Nayyirain. Hisab almanak NU adalah hisab penyerasian NU dengan pendekatan rukyah yang diputuskan dalam musyawarah ‘ulama’ ahli hisab, ahli astronomi, dan ahli rukyah. Secara empirik, hisab penyerasian NU mempunyai tingkat akurasi yang sangat tinggi, lebih dari 90% sesuai dengan hasil rukyatul hilal bil fi’li. Kemudian Departemen Agama pun membuat semacam sistem penyerasian, untuk mengatasi perbedaan yang terdapat dalam berbagai metode hisab.

3. Lebih dari dua puluh metode hisab tersebar di kalangan umat. Perbedaan dalam hasil hisab selalu ada; dari perbedaan yang masih dalam batas toleransi sampai pada perbedaan yang ekstrim. Sebagai contoh terjadinya perbedaan hisab dalam penentuan awal bulan Syawal 1427 H, sebagai berikut:
a. Ijtima’ menurut semua metode hisab jatuh pada hari Ahad, 22 Oktober 2006, tetapi beda mengenai waktunya:
- Enam Belas Metode Hisab: antara pukul 12:08 – 12:17 WIB; NU: 12:07:30 WIB
- Metode Fath al Rauf al Manan: pukul 11:14 WIB, Metode New Comb: pukul 11:56:38 WIB.
- Metode Sullam al Nayyirain: pukul 10:41 WIB
b. Tinggi hilal di Indonesia, menurut umumnya metode hisab antara –00 30’ sampai 10. Tinggi hilal di Jakarta pada waktu itu, menurut:
- Lima Belas Metode Hisab: antara 00 12’ – 00 58’ 32”; NU: 00 54’
- Metode Nurul Anwar: 10 1’ dan Metode Al-Qawa’id al Falakiyah: 10 48’
- Metode Fath al Rauf al Manan: 30 23’ dan Metode Sullam al Nayyirain: 30 39’ 30”

4. Perbedaan ukuran tinggi hilal tersebut dipengaruhi oleh faktor perbedaan sistem, alat yang digunakan, dan faktor hasib. Menurut astronomi, tinggi hilal mencapai imkanur rukyah, jika memenuhi kriteria tertentu, antara lain: tinggi hilal 20, umur bulan 8 jam sesudah ijtima’; ini berarti cara menghitung tinggi hilal ada rumus-rumus tertentu yang sangat rinci dan teliti sebagaimana dipaparkan oleh astronomi dan ilmu hisab ‘ashriy.

sumber : nu.or.id

No comments: