Tuesday, March 20, 2012

mengenal salafiyah - awal dan akar

Mengenal Salafiyah: Awal dan Akar

Salafiyah dihidupkan oleh Ibnu Taimiyah, karena pada saat itu, umat Islam mengalami era kemunduran atau zaman Taklid.

Ajaran Islam menyebar ke seluruh penjuru dunia. Kaum Muslim pun dihadapkan pada situasi dan tantangan intelektual baru yang beragam. Tentu saja, tantangan itu harus segera direspons dengan solusi yang sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam.

‘’Selain menggunakan Alquran, umat Islam juga menggunakan pemikiran rasional untuk menjelaskan konsep dan doktrin Islam,’’ ungkap John L Esposito dalam Ensiklopedi Oxford. Kaum Muslim menggunakan teknik itu untuk menjelaskan berbagai persoalan, seperti eksistensi Allah, sifat ilhahi, sifat Alquran, hingga menjawab pertanyaan apakah Allah akan terlihat di surga.

Setelah wafatnya Khalifah Usman bin Affan pada 35 H/656 M, konflik di kalangan umat Islam mulai menajam. Kontrovesi terkait berbagai topik, seperti iman, status orang berdosa, sifat tindakan manusia, kebebasan dan tekad, serta keimaman telah melahirkan beragam aliran teologi, seperti Qadiriyah, Jabariyah, Shifatiyah, Khawarij, dan Muktazilah.

Munculnya beragam mazhab teologi itu pun memantik perseteruan di antara para pengikutnya. ‘’Kondisi itu mengundang keprihatinan Ahmad Ibnu Hanbal, pendiri mazhab keempat Sunni,’’ papar Esposito. Sehingga, Ibnu Hanbal didapuk sebagai juru bicara salafiyah klasik.

Ia menginginkan agar umat Muslim segera kembali kepada ajaran Islam yang murni dan sederhana berdasarkan Alquran, Sunah, dan hadis para salaf. Istilah Salafi, menurut sebagain kalangan, pertama kali muncul dalam kitab Al-Ansaab karya Abu Saad Abd al-Kareem al-Sama'ni, yang meninggal pada 562 H/1166 M.

***

Kata salafiyah, menurut Esposito, diturunkan dari akar kata salaf yang berarti ‘’mendahului’’. Alquran menggunakan kata salaf untuk merujuk masa lalu, dalam surah Al-Maidah [5] ayat 95 dan Al-Nafal [8] ayat 38. ‘’Dalam leksikon Arab, salaf adalah leluhur yang saleh,’’ ungkap guru besar untuk bidang Studi Islam di Universitas Georgetown, Amerika Serikat itu.

Sebagai seorang juru bicara Salafi klasik, Ibnu Hanbal telah meletakkan sejumlah doktrin Salafiyah. Pertama, keutamaan teks wahyu di atas akal. Menurutnya, tak ada kontradiksi antara wahyu atau kitab suci dan akal. Kedua, menolak disiplin kalam (teologi). Salafiyah memandang persoalan yang diangkat mazhab-mazhab teologi sebagai sesuatu yang bidah.

Ketiga, Ibnu Hanbal menekankan pentingnya ketaatan ketat kepada Alquran, Sunah, dan konsensus (ijmak) para leluhur yang saleh. ‘’Ibnu Hanbal memagang Alquran dan ajaran Nabi SAW sebagai sumber otoritatif dalam memahami masalah agama,’’ tutur guru besar untuk bidang Agama dan Hubungan Internasional pada Universitas Georgetown, Amerika Serikat itu.

***
Seiring bergilirnya waktu, pendekatan Salafiyah mulai berevolusi dalam menangani berbagai masalah yang dihadapi umat Islam. Gerakan Salafiyah lalu dihidupkan lagi oleh Ibnu Taimiyah, ulama dan pemikir Muslim yang hidup di antara abad ke-13 dan ke-14 M.

Salafiyah dihidupkan oleh Ibnu Taimiyah, karena pada saat itu, umat Islam mengalami era kemunduran. Terlebih, setelah kota Baghdad, ibu kota Kekhalifahan Abbasiyah dihancurkan bangsa Mongol dalam sebuah invasi pada 1258 M. Dunia Islam yang selama tujuh abad sebelumnya bersinar mulai mengalami kegelapan.

Dunia Islam mengalami kemunduranalam berbagai bidang, baik pemikiran keagamaan, politik, sosial, maupun moral. Kezaliman merajarela, penguasa tak berdaya, dan para ulama tak bias berijtihad secara murni lagi. Saat itu, umat Islam berada dalam zaman Taklid.

Masa Taklid disebut para sejarawan dan pemikir Islam sebagai masa kemunduran. Pada pertengahan abad ke-13 M itu, masyarakat Muslim banyak yang menjadi penyembah kuburan, nabi, ulama, dan tokoh-tokoh tarekat. Mereka berharap berkat anbia (para nabi) dan aulia (para wali).

Kaum Muslimin pada era kemunduran itu cenderung meninggalkan Alquran dan Sunah Rasulullah SAW. Masyarakat Islam pada waktu itu terjebak pada perbuatan syirik dan bidah dan lebih percaya pada khurafat (menyeleweng dari akidah Islam) dan takhayul. Kondisi itulah yang membuat Ibnu Taimiyah tergerak untuk menghidupkan gerakan Salafiyah

Ibnu Taimiyah berpendapat, tiga generasi awal Islam, yaitu Rasulullah Muhammad SAW dan Sahabat Nabi, kemudian Tabi'in yaitu generasi yang mengenal langsung para Sahabat Nabi, dan Tabi'ut tabi'in yaitu generasi yang mengenal langsung para Tabi'in adalah contoh terbaik untuk kehidupan Islam. Ketiga generasi kaum Muslimin itu biasa disebut sebagai kaum Salaf.

Doktrin yang menonjol dari gerakan Salafiyah yang dihidupkan Ibnu Taimiyah antara lain: pintu ijitihad selalu terbuka sepanjang masa; taklid atau ikut-ikutan tanpa mengetahui sumbernya diharamkan; diperluka kehati-hatian dalam berijtihad dan berfatwa; perdebatan teologis (kalamiah), seperti Muktazilah, Jahamiyah dan lainnya dihindarkan; ayat Alquran dan hadis yang mutasyabihat (tak jelas menunjuk pada satu arti) tak ditafsirkan dan tidak ditakwilkan.

Gerakan Salafiyah juga dikenal sebagai gerakan Tajdid (pembaharuan). Ada pula yang menyebutnya, gerakan Islah (perbaikan) dan gerakan Reformasi. Tak heran, jika Ibnu Taimiyah ditabalkan sebagai Bapak Tajdid, Bapak Islah, Bapak Reformasi, serta bapak Pembaharuan dalam Islam.

***

Sejak saat itu, gerakan Salafiyah mulai menyebar ke berbagai penjuru dunia. Di era pramodern, yakni abad ke-18 M, gerakan Salafiyah kembali dihidupkan Muhammad bin Abdul Wahab (1703-1792) lewat Wahhabiyah. Gerakan itu lahir sebagai sebuah upaya untuk mereformasi umat yang sedang mengalami kehancuran, baik secara moral dan sosial.

Gerakan serupa juga turut mempengaruhi lahirnya Sanusiyah dan Mahdiyah. Bahkan, di luar Arab muncul gerakan Usuman Dan Fodio (1754-1817) di Nigeria. Selain itu, ada pula gerakan Ahmad Sirhindi (1564-1624), dan Sayyid Ahmed Barelwi (1786-1831) di Anak Benua India. Mereka menggelorakan persatuan Islam, pemurnian agama, serta reformasi moral dan sosial.

Redaktur: Heri Ruslan
Sumber: Islam Digest Republika

sumber : republika.co.id

No comments: