Wednesday, August 20, 2014

shadaqah

Shadaqah
Oleh: Nasaruddin Umar


SHADAQAH (Indonesia: sedekah) tidak identik dengan zakat, meskipun dalam Al-Qur'an kedua kata tersebut sering digunakan secara bergantian untuk satu maksud, yaitu zakat.

Shadaqah lebih sering digunakan sebagai bantuan secara sukarela tanpa menentukan ukuran atau batas minimum atau maksimumnya. Shadaqah juga tidak terikat secara ketat sasaran peruntukannya (ashnaf). Shadaqah boleh untuk keluarga dekat, fasilitas umum, dan sasaran-sasaran lain di luar ashnaf zakat. Shadaqah dalam arti ini memiliki persamaan dengan infaq sebagaimana akan diuraikan dalam artikel mendatang.

Jika shadaqah dalam arti zakat maka shadaqah dalam arti tersebut harus tunduk kepada pengertian zakat. Contoh shadaqah dalam arti zakat ialah: "Sesungguhnya shadaqah (baca: zakat) itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (muallaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana). (Q.S. al-Taubah/9:60).

Frekuensi pemberian shadaqah berbeda dengan zakat. Shadaqah boleh dilakukan kapan saja, di mana saja, kepada siapa saja (tentunya yang sesuai dengan ajaran syar'i), seberapapun, dan dalam bentuk apapun. Sedangkan zakat semuanya serba terukur. Jika tidak sesuai dengan ukuran sebagaimana telah ditetapkan syari'ah maka bergeser kedudukannya menjadi shadaqah atau infaq. Contohnya, zakat fitrah. Jika zakat fitrah dilakukan seusai khatib turun dari mimbar mesjid menyampaikan khutbah, maka sudah bukan lagi zakat tetapi shadaqah.

Demikian pula jika kurang atau berbeda antara ketentuan harta zakat yang dikeluarkan dengan yang seharusnya dikeluarkan maka itu juga menjadi perdebatan para ulama. Misalnya, mestinya yang dikeluarkan adalah sapi atau harga sapi tetapi yang dikeluarkan ialah kambing atau seharga kambing, artinya kurang dari ketentuan minimun yang diharuskan, maka itu dianggap bermasalah.

Bahkan ada ulama yang lebih mengafdalkan beras atau gandum sesuai makanan pokok masyarakat setempat, bukan dalam rupa uang walaupun sudah seharga dengan harga nominal kebutuhan pokok itu.

Itulah sebabnya mazhab syafi' meniscayakan adanya wujud beras di samping uang sebagai simbol nilai tukar zakat firah. Karena zakat fitrah tujuannya untuk membebaskan kelaparan pada hari raya Idul Fitri, bukan untuk membebaskan kemiskinan secara permanen sebagaimana misi zakat harta. [inilah.com]


Baca Juga
- Artikel-Artikel Nasaruddin Umar

No comments: