Monday, December 22, 2014

tamak


Tamak - Pintu-pintu Neraka 
Oleh: Nasaruddin Umar

TAMAK, rakus, atau serakah adalah salah satu sifat tercela dalam agama Islam. Kosa kata tamak mungkin tidak pernah berkonotasi positif karena menyebabkan terjadinya ketimpangan sosial ekonomi di dalam masyarakat.

Ada orang yang meraup harta kekayaan sebanyak-banyaknya sementara orang lain dibiarkan menjadi penonton. Tamak termasuk penyakit sosial karena biasanya pribadi yang tamak bukan hanya rakus dan serakah tetapi biasanya juga pelit, kikir, sombong, angkuh, dan memiliki ambisi berlebihan.

Selain menyebabkan orang lain sensara, tamak ini juga umumnya membuat pelakunya tersungkur dalam kehinaan yang amat memalukan. Dalam Al-Qur’an ditampilkan sejumlah raja digjaya tetapi tamak yang berujung kehinaan karena serakah. Fir’aun, Tsamud, Namrud, ‘Ad, Abrahah, dan sejumlah tokoh lain merasakan kekecewaan diakhir hayatnya karena keserakahan.

Tokoh dan pemimpin dunia kontemporer juga tidak sedikit jumlahnya berakhir dengan kehinaan karena keserakahan. Tamak artinya kehendak nafsu untuk memiliki seluruh potensi yang ada di dalam masyarakat tanpa peduli orang lain yang juga membutuhkannya. Ia ingin memiliki semua potensi itu dengan berbagai cara, termasuk cara-cara yang tidak wajar.

Ketamakan dan keserakahan menurut St Augustine (354-430) dapat diidentifikasi ke dalam tiga kategori, yaitu keserakahan kekuasaan, keserakahan seksual, keserakahan harta benda. Keserakahan pertama berpotensi melahirkan anarki dan tirani.

Keserakahan jenis kedua berpotensi melahirkan kejahatan kesusilaan dan melemahkan keturunan. Keserakahan ketiga menjadi cikal bakal lahir dan berkembangnya sistem kapitalisme. Sebelum kapitalisme lahir, keserakahan manusia terhadap harta benda merupakan perbuatan yang tidak terpuji.

Bahasa agama dan bahasa filsafat sampai abad pertengahan masih memandang kapitalisme itu sebagai dosa dan aib yang harus dijauhi. Belakangan berpisah antara pandangan agama dan filsafat. Filsafat cenderung memberikan pembenaran terhadap pemilik modal untuk meraup keuntungan lebih besar tanpa memperhatikan kaedah-kaedah moral. Sebaliknya agama moralitas harus menjadi dasar di dalam berbagai kepemilikan.

Milik pribadi dalam masyarakat tradisional bukan sekadar sumber pendapatan tetapi lebih memiliki fungsi sosial dan penggunaannya selalu dibatasi oleh kepentingan-kepentingan sosial dan keperluan negara. Karena itu, menurut sejarahwan RH Tawney, sampai abad pertengahan konsep kepemilikan pribadi atas harta tidak begitu popular.

Sampai sekarang, di sejumlah etnik dalam sejumlah wilayah kepulauan nusantara kita masih kental dengan istilah kepemilikan kolektif seperti hak-hak adat, tanah ulayat, tanah adat, tanah waqaf, dan sebagainya. Orang-orang yang melanggar ketentuan ini dianggap serakah dan itu merupakan aib besar di dalam kehidupan bermasyarakat. Orang dahulu lebih memilih miskin dan menderita ketimbang kaya dan bahagia tetapi tidak terhormat. Orang kaya yang memperoleh kekayaan dengan cara tidak wajar dianggap orang yang tidak terhormat.

Tamak terhadap harta benda sesudah abad pertengahan seakan mendapatkan legitimasi logika dan agama. Nilai-nilai luhur agamapun direaktualisasikan untuk mendukung konsep kapitalisme, sehingga kapitalisme yang dulu dianggap aib kini semakin eksis di dalam opini publik. Lahirnya karya monumental Max Weber “The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism” dianggap memberikan pupuk yang menyuburkan faham kapitalisme.

Namun sasaran positif yang dituju buku ini ialah memberikan semangat pembebasan manusia dari belenggu mistisisme dan khurafat yang menyelimuti umat beragama saat itu. Weber tidak ingin agama dijadikan dasar untuk meligitimasi keterbelakangan, kemelaratan, dan kepasrahan terhadap nasib. Agama justru harus dijadikan spirit untuk mengembangkan kreasi masyarakat dalam upaya memenuhi kebutuhannya, baik kebutuhan materi maupu non materi [inilah.com]

24/9

No comments: